Archive for the ‘Pengalamanku’ Category
Mencegah kucing tetangga agar tidak BAB di halaman rumah
Kucing-kucing milik tetangga sering buang kotoran di halaman rumah saya yang berumput. BAB-nya pada waktu malam, pagi-pagi kita mendapat “benda warisan” berupa kotoran sang kucing di halaman rumah. Sekali BAB di sana, maka seterusnya dia akan kembali ke situ untuk BAB lagi. Jengkel? Iyalah. Namun, saya juga tidak ingin merusak hubungan bertetangga karena bertengkar gara-gara kucing, saya mau coba atasi sendiri saja degan cara yang soft tanpa ribut-ribut.
Sekarang saya mau mencoba tips seorang netizen untuk membuat kucing enggan datang untuk membuang BAB di halaman rumah (tulisannya berjudul Mengusir Kucing Liar dengan Menaruh Botol Berisi Air di Halaman, Memang Bisa?)
Saya ambil beberapa botol plastik bekas air mineral, lalu isi dengan air sampai penuh. Taruh botol-botol di halaman rumah. Nah, mau dilihat hasilnya beberapa hari ke depan, berhasilkah?
Setelah satu minggu dibiarkan botol-botol tersebut, ternyata tidak berpengaruh. Semalam kucing tetangga meninggalkan kotoran lagi di rumput. Gagal deh.
Setelah gagal mengusir kucing tetangga dengan menggunakan botol-botol air, sekarang saya mencoba menggunakan gel anti kucing, saran dari teman (Ya, saya memposting percobaan saya ini di akun Facebook dan banyak dikomentari oleh pembaca, salah seorang pembaca memberi saran menggunakan gel). Gel anti kucing saya beli di toko online. Gelnya berwarna kuning dengan bau yang sangat khas. Puluhan butir gel saya sebar di atas hamparan rumput di tempat biasa kucing BAB. Berhasil kah? Ditunggu efeknya dalam beberapa hari lagi.
Beberapa orang teman bertanya, bagaimana kondisi halaman rumah sekarang setelah ditaburi gel anti kucing beberapa waktu yang lalu? Masihkah kucing tetangga meninggalkan kotoran di sana?
Alhamdulillah, sudah tiga minggu ini tidak ada kucing tetangga buang kotoran di sini. Apakah karena gel anti kucing itu mangkus (efektif) sehingga kucing tetangga tidak mau lagi BAB di halaman rumahs aya? Wallahualam, mungkin karena pakai gel itu mungkin juga tidak.
Entahlah, kita lihat lagi beberapa minggu lagi ke depan, apakah kucing punya memori BAB lagi di situ setelah lupa beberapa minggu. Namun penggunaan gel anti kucing tersebut tidak menjamin halaman rumah bebas dari kotoran kucing. Penggunaan gel anti kucing tetap perlu dilanjutkan secara rutin agar kucing menjadi jera.
Pengalaman Berobat ke Dokter Online
Pengalaman saya berobat ke dokter online di aplikasi Halodoc boleh juga nih. Saat anak saya sakit flu dan batuk, saya mau membawa dia berobat ke dokter umum di klinik praktek dokter di Antapani pada hari Sabtu. Tapi dokter umum pada hari itu penuh pasien dan tidak menerima pasien lagi.
Akhirnya iseng-iseng saya coba meng-instal aplikasi Halodoc, lalu saya cari daftar dokter yang praktek online hari itu. Ada kategori dokter umum dan ada dokter spesialis. Kita bisa pilih dokter yang menurut feeling kita cocok. Tarif dokternya bervariasi, paling murah Rp17.000 (what??? Hari gini masih ada tarif dokter seharga satu mangkok bakso?), Rp35.000, Rp40.000, sampai yang paling mahal Rp70.000. Kayaknya tarifnya bergantung pengalaman, dokter muda yang minim pengalaman tarifnya murah, dokter senior sedikit lebih mahal.


Ok, saya pilih dokter perempuan yang bisa layanan video call, jadi nggak hanya sekedar chat saja. Dia saat itu sedang berada di dalam mobil yang melaju, mungkin mau jalan-jalan akhir pekan barangkali, tapi bukan sedang menyetir. Setelah terhubung dengan dokter tersebut, lalu dia menanyakan apa keluhan anak saya, gejala, suhu badan, dan sebagainya. Dokter meminta saya mengarahkan kamera kepada anak saya agar dia bisa melihatnya, lalu meminta lebih dekat lagi ke arah wajah agar bunyi napas dan suara batuknya kedengaran.
Setelah itu dia menjelaskan tentang sakit anak saya, memberi tips agar minum air hangat, istirahat yang cukup, makan yang bergizi, dan terakhir meresepkan obat. Saya tidak perlu keluar rumah membawa resep untuk beli obat di apotik, sebab aplikasi ini sudah terhubung dengan apotik-apotik. Apotik yang dipilih oleh aplikasi adalah apotik yang terdekat dengan rumah saya. Setelah membayar harga obat dengan gopay (bisa transfer bank juga), maka kita bisa melacak pergerakan driver gojek yang menjemput obat di apotik. Dalam waktu setengah jam, paket obat sampai ke rumah saya. Praktis sekali dan semudah itu.
Segera obat-obat itu saya minumkan kepada anak. Ada obat demam, obat batuk, antibiotik, obat radang, dan vitamin.
Alhamdulillah, dua hari setelah minum obat anak saya sembuh. Andai tidak pakai Halodoc, mungkin saya harus menunggu hari Senin membawa anak ke dokter, belum tentu dapat nomor, lalu antri lama di dokter dengan pasien sakit lainnya.
Tentu cara terbaik adalah langsung diperiksa secara fisik (secara tatap muka) oleh dokter di tempat praktek, diperiksa fisiknya pakai alat (stetoskop), tetapi kalau kondisi darurat begini dan dokter penuh saat musim hujan (sekaligus musim flu) seperti bulan-bulan sekarang, maka layanan dokter online adalah sebuah alternatif yang patut dicoba.
Oleh-oleh dari Kampung dari Mahasiwa Bimbingan
Suatu hari mahasiswaku datang mau bimbingan Tugas Akhir (TA). Dia membawa oleh-oleh dari kampung halamannya. Kebetulan saat itu baru selesai libur lebaran dan kampus sudah buka kembali.
“Ini buat bapak”, katanya, sambil menyerahkan sebuah plastik keresek berisi kue khas kampung halamannya.
Saya tahu niat baiknya, tulus, namun saya tidak bisa menerimanya karena dia masih dalam penilaian saya. Dia mahasiswa bimbingan saya, nilai tugas akhirnya tergantung dari saya.
“Bagikan saja buat teman-temanmu di kosan ya”, kata saya sambil tersenyum. Saya tidak ingin menyakiti perasaannya, jadi oleh-oleh tersebut tetap bermanfaat bagi teman-temannya di kos-kosan. Alhamdulillah, dia bisa memahami dan mengerti sikap saya tersebut. Akhirnya bimbingan TA pun dilanjutkan kembali tanpa terganggu dengan kejadian tadi.
Meskipun saya tahu ini adalah budaya keramahtamahan bangsa kita, yaitu sering membawa oleh-oleh ketika bertamu, namun menurut saya momennya tidak tepat.
Saya pun paham mereka memberi itu tidak punya maksud apa-apa sih, tetapi prinsip tidak menerima pemberian apapun dari orang yang berada di bawah tanggung jawab kita, di bawah penilaian kita, harus diterapkan. Dengan demikian kita tidak punya beban dalam menilai mereka. Tidak terikat dengan pemberian yang pernah mereka berikan.
Saya tidak akan menyebut itu gratifikasi atau pun istilah lainnya. Selama mahasiswa masih terikat dengan saya, saya tidak mau menerima apapun dari mereka.
Sebaiknya mahasiswa tidak usah memberi kami apa-apa. Menurut saya itu sikap yang terbaik agar kami tidak serba salah menanggapinya.
Hujan dan Jemuran Mahasiswa Kos
Saat mengajar di kelas, tiba-tiba hujan deras turun. Semua mata mahasiswa menoleh ke arah jendela, melihat hujan turun dengan lebatnya. Terlihat sebagian mereka agak gelisah. Mungkin gelisah memikirkan bagaimana pulang ke kosan nanti?
Saya pun bertanya kepada mereka:
+ Kenapa kalian tampak gelisah? Ingat jemuran di kosan basah kuyup ya?
Semua mahasiswa tertawa. Hahaha…
Saya pun bercerita. Dulu saat saya jadi mahasiswa ITB, saya biasa mencuci pakaian sendiri, baik waktu ngekos maupun saat tinggal di asrama mahasiswa ITB. Tiga hari sekali mencucinya. Ditumpuk dulu semua pakaian kotor di dalam keranjang. Nggak repot-repot amat mencucinya, cukup direndam di dalam ember dengan deterjen Rinso. Rinso kan mencuci sendiri (demikian bunyi tagline iklan Rinso zaman itu) . Biarkan rendaman cucian selama satu jam, kucek-kucek, lalu bilas. Setelah diperas, dijemur di atas atap kosan (ada tali jemuran di atas atap), kemudian ditinggal pergi kuliah. Sore atau siang sepulang kuliah jemuran sudah kering.
Nah, apesnya saat sedang asik kuliah di kampus, tiba-tiba hujan turun. Saya yang sedang mendengarkan dosen menerangkan kuliah langsung buyar fokusnya, teringat cucian di jemuran tadi, pasti basah lagi. Siapa yang mengangkat jemuran saya nih? Apakah ada teman yang sedang berada di kosan mau membantu mengangkatnya sebelum hujan? Hihihihi…kalau semua teman kosan juga sedang di kampus, apes deh, nggak selamat jemuran saya.
Kalau semua pakaian basah dan tidak punya persediaan yang kering lagi, terpaksa deh saya pakai CD side A side B. Hahahaha…
Namun ketika saya dan teman-teman satu alumni SMA mengontrak rumah ramai-ramai, maka saya tidak lagi mencuci sendiri. Kami mengambil pembantu yang dipanggil bibi. Bibi ini umumnya warga sekitar rumah kontrakan kami. Kami iuran per orang per bulan untuk menggaji bibi. Selain mencuci baju dan menyetrika pakaian kami, bibi bertugas berbelanja ke pasar, memasak dan menyiapkan sarapan untuk kami. Kami tinggal belajar dan kuliah saja, tidak pusing urusan mencuci dan makan lagi. Tetapi tinggal bersama dalam satu kontrakan hanya setahun saja, setelah itu kami berpisah dan kos sendiri-sendiri. Saya pun mulai mencuci sendiri lagi.
Kalau mahasiswa kos zaman sekarang apa masih ada yang mencuci sendiri ya? Sekarang kan serba mudah, jika malas mencuci, cukup cuci pakaian di tempat laundry saja. Laundry ada di mana-mana. Murah lagi, sebab hitungannya per kilo pakaian. Nggak perlu resah jika hujan turun saat sedang di kampus.
Nasi Goreng Ibu
Anak saya yang bungsu, kalau mau sarapan pagi seringkali minta nasi goreng. Nasi goreng ibu, katanya. Kalau ibunya yang membuatkan nasi goreng maka biasanya makannya habis. Namun jika saya yang memasakkan nasi goreng maka seringkali tidak habis dimakannya, selalu saja bersisa.
Padahal bumbu nasi goreng yang saya dan istri gunakan sama, bumbu sederhana saja, yaitu bumbu racik instan dari Indofood. Cara memasaknya juga sama, yaitu panaskan satu sendok margarin blue band di atas teflon, masukkan telur, aduk-aduk, campurkan nasi, tambahkan garam, udah gitu aja.
Mungkin beda tangan dan sentuhan bisa beda rasa ya nasi gorengnya. Mungkin juga faktor hubungan batin ibu dan anak membuat masakan jadi lebih enak kali ya. Ibu memasak dengan kasih, ayah memasak dengan cinta. (Eh, sama aja ya.. )
Menurut saya, di rumah kita memang seharusnya ada sesuatu seperti masakan kesukaan anak buatan orangtuanya yang akan dirindukan oleh anak kita saat mereka jauh dari rumah nanti. Membuat mereka rindu rumah dan kangen dengan masakan ibu/ayahnya. Membuat mereka rindu untuk pulang.
Sama seperti kita orang dewasa, kita pun sering merasa kangen dengan masakan orangtua kita saat kita berada jauh di negeri orang. Rindu masakan yang dulu sering dibuat oleh ibu saat kita kecil. Orangtua kita tahu betul apa makanan kesukaan kita, dan saat kita pulang ke rumah masakan itulah yang dicari atau diminta buatkan, atau bahkan tanpa diminta orangtua kita sudah menyiapkan masakan itu ketika kita pulang ke rumah.
Jadi, penting bagi orangtua untuk mengingat apa yang menjadi kesukaan anak kita saat mereka masih tinggal di rumah. Mungkin kita kadang-kadang jengkel karena anak merengek-rengek minta dibuatkan makanan kesukaanya. Jangan merasa mersa repot dan cape mengurus anak, sebab masa-masa mengasuh anak itu hanya sekali saja dalam seumur hidup. Sebelum nanti kita menyesal karena telah melewatkan masa-masa yang berharga itu sehingga tidak meninggalkan kenangan manis pada anak kita.
Serumah dengan Pasien Covid
Tiga minggu lalu, hari Jumat sore, istri saya pulang dari Surabaya. Sehari setelah tiba di rumah dia biasa-biasa saja. Tapi tiga hari kemudian, hari Senin, dia mulai merasa tidak enak badan. Malam hari badan terasa demam. Keesokan harinya tenggorokan dan kerongkongan mulai terasa sakit, susah menelan makanan. Batuk pun mulai terdengar satu satu. Jangan-jangan…., ya jangan-jangan positif. Kata positif dulu untuk kehamilan, sekarang berganti untuk kasus covid. Dulu saat awal menikah kata yang ditunggu adalah positif, sekarang kata yang didambakan adalah kata negatif.
Hari Selasa sore dia minta diantar oleh anak saya yang nomor dua untuk tes rapid antigen di klinik Medika Antapani. Setelah menunggu tiga puluh menit, hasilnya keluar. Qadarullah, positif!
Saya pun terhenyak mendengarnya. Sudah dua tahun sejak pandemi dimulai bulan Maret 2020, belum pernah ada kasus positif di rumah kami. Akhirnya pertahanan itu jebol juga. Yang terkena adalah istri saya yang mungkin dapat oleh-oleh virus di Surabaya atau di atas kereta api (Bandung-Surabaya naik kereta Argo Wilis pp). Tak tahulah dapat di mana. Istri sudah vaksin dua kali. Anak-anak di rumah juga sudah vaksin dua kali, sedangkan saya sudah booster (vaksin ketiga).
Setelah istri sampai di rumah, maka SOP pun saya terapkan. Istri isoman saja di kamarnya. Keluar hanya jika ke kamar mandi saja. Kalau keluar kamar pun harus pakai masker. Makan minum saya antarkan ke depan pintu kamar. Anak-anak diminta tidak ke kamar ibunya dan tidak berada dekat-dekat dengan ibunya. Kalau istri mau keluar kamar, maka anak-anak saya suruh mengumpet dulu di kamar. Pembantu rumah tangga pun saya suruh menjauh ke belakang rumah. Hehehe…, agak parno ya, tapi bagaimana lagi, ini kan dalam rangka ikhtiar tidak terkena. Kalau terkena semua kan gawat. Apalagi kami punya anak sulung yang ABK (anak berkebutuhan khusus), yang tidak paham apa itu covid, dan tidak mungkin bisa diisolasi jika terkena. Dia tidak bisa diam. Maklum anak autis.
Setelah berdiskusi dengan istri via WA, akhirnya pembantu rumah tangga yang biasa datang pagi dan pulang sore terpaksa saya “rumahkan”. Tidak usah masuk kerja dulu, karena dia punya komorbid, diabetes, dan lagipula dia belum pernah vaksin sama sekali (karenakadar gulanya tinggi, di atas 200 sehingga tidak bisa divaksinasi). Jika dia terkena bisa parah ‘kan.
Setelah pembantu pulang, malam hari anak sulung yang ABK itu badannya panas. Semalaman dia gelisah tidur. Saya pun agak panik. Jangan-jangan…. ah, tetapi pikiran itu saya buang, karena anak sulung ini mudah masuk angin. Jika masuk angin maka badannya pasti demam. Saya ukur suhunya 38 deajat. Saya pun tidak bisa tidur semalaman karena si sulung terus terbangun. Saya kompres dahinya, saya usap badannya dengan minyak kayu putih, dan saya minumkan Decolgen. Itu cara saya yang biasa menurunkan demamnya.
Besok pagi panas si sulung mulai turun. Dia mulai ceria lagi. Tapi sore harinya panasnya mulai naik lagi. Minum Decolgen lagi, dan alhamdulillah malamnya sudah normal kembali. Jadi saya makin yakin dia memang masuk angin saja. Tinggal saya yang karena tidak tidur semalaman maka badang terasa tidak enak, tetapi tidak panas. Batuk mulai satu-satu.
Kembali ke istri saya. Dia hanya di kamar saja, tidur saja, karena badan tidak enak. Batuk pun mulai keras. Obat gratis yang diharapkan dikirim dari Kemenkes tidak datang-datang, padahal di aplikasi Peduli Lindungi statusnya sudah hitam (yang berarti terkena covid). Kemenkes sudah menghubungi istri via WA, tetapi anehnya disuruh menghubungi Puskesmas Kuta, Bali. Kacau nggak tuh data di Peduli Lindungi, kok Kuta? Ini kan di Bandung Jawa Barat gaesss. Hehehe…
Akhirnya saya menghubungi, Rosye, teman di Dinas Kesehatan Kota Bandung, minta dikirimi obat untuk penderita covid. Kok nggak dari awal-awal, katanya? Dengan sigap dia kirim paket obat ke rumah via gojek. Isinya tiga macam obat: pertama obat antivirus yang namanya Avigan, lalu multivitamin + zinc, dan terakhir vitamin D3 1000 IU. Avigan sebanyak 40 tablet, diminum pada hari pertama 2 x 8 butir (haaa? 8 butir sekali minum? ), hari ke-2 sampai hari ke-5 sebanyak 2 x 3 butir. Multivitamin satu kali sehari saja untuk 10 hari. Kalau badan masih panas minum parasetamol saja. Begitu juga kalau batuk pakai obat pasaran saja.
Jadi, selain istri, di rumah hanya saya dan si sulung ABK yang gejalanya seperti orang positif covid karena ada batuk dan sedikit pilek, sedangkan si tengah dan si bungsu tidak apa-apa. Maklum mereka berdua lebih banyak di kamar saja. Saya sendiri antara yakin dan tidak yakin ini covid atau bukan, karena gejalanya mirip dengan flu. Kalau mau kepastian positif atau negatif sih tes antigen atau PCR saja. Mungkin saya dan si sulung OTG, tapi anggap sajalah terkena omicron, jadi tidak perlu dites lagi. Toh dua hari juga sudah sembuh, hanya tersisa batuk sesekali. Resep yang saya tulis pada tulisan sebelumnya benar-benar saya laksanakan, yaitu minum air putih sesering mungkin, berjemur pagi, minum multvitamin. Kasus covid oleh virus omicron memang cepat sembuhnya karena gejalanya ringan bagi orang yang sudah vaksin dua kali dan tidak punya komorbid.
Istri saya yang karena tes rapid antigennya di Antapani, maka datanya cepat masuk ke Puskesmas Jajaway dan ke Satgas covid di RW kami. Pada hari kelima datanglah Pak RW dan Bu RW ke rumah mengantar paket sembako. Isinya seplastik telur ayam, pisang, dan madu. Untuk meringankan, katanya. Alhamdulillah, bentuk perhatian dari RW. Ternyata di RT saya yang terkena omicron tidak hanya istri saya saja, tetapi ada 15 orang! Waduh, banyak juga, tapi semuanya gejala ringan.
Setelah sepuluh hari isoman, istri saya merasa sudah lebih baik. Makan sudah enak, kerongkongan sudah tidak sakit lagi, batuk sudah jarang. Tanda hitam di Peduli Lindungi sudah berubah mejadi hijau. Alhamdulillah sudah sembuh, dan besok sudah mulai masuk kerja lagi.
Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah.
Flu atau Omicron?
Teman-teman saya di Jakarta menceritakan kalau dia dan keluarganya tertular omicron. Gejalanya mirip flu biasa: ada pilek dan batuk. Tenggorokan sedikit gatal. Tapi tidak demam. Setelah minum panadol dan multivitamin, beberapa hari juga pilek sembuh. Sekarang tinggal batuk sesekali.
Dia tidak tes PCR. Udah yakinlah ini covid omicron katanya. Cepat penularannya. Mulai dari anak, lalu istri, akhirnya dirinya.
Memang agak sulit membedakan covid omicron saat ini dengan flu biasa. Gejalanya mirip. Kayaknya setiap orang yang pilek dan batuk jika dites antigen atau PCR hasil tesnya kemungkinan besar positif.
Jangan-jangan sudah banyak orang tertular omicron tapi nggak nyadar karena gejalanya sama dg pilek dan batuk biasa.
Jangan-jangan saya juga sudah pernah kena omicron nih. Beberapa minggu yang lalu saya kena batuk dan sedikit pilek. Awalnya dari anak, lalu ke saya, lalu ke anak yg lain. Nggak lama sih, pilek dua hari juga sudah hilang. Cuma batuk yang masih cukup lama. Masih ada sisanya sesekali.
Saya kalau kena flu maka obatnya sederhana saja. Perbanyak minum air putih. Saya bisa bergelas-gelas minum air putih sehari, mungkin lebih dari 1 liter. Biarin sering pipis, tidak apa-apa. Lalu tidak lupa berjemur pagi dan jalan kaki pagi lebih dari 30 menit.
Dari pengalaman saya, minum air putih yang banyak merupakan terapi yang sangat ampuh untuk flu seperti batuk dan pilek. Juga buat penyakit yang lain seperti pusing-pusing, tidak enak badan, darah tinggi, dll. Coba deh. Insya Allah.
Tidak hanya saat sakit saja, bahkan dalam kadaan sehat sekalipun, biasakan minum air putih yang banyak setiap hari. Air putih (air bening) ya, bukan yang dicampur dengan teh atau sirup.
Demam yang Parno
Pada zaman pandemi corona yang masih berlangsung saat ini, siapapun yang pernah demam, sakit kepala, nggak enak badan, batuk, atau diare, mungkin akan mengalami parno (paranoid) seperti yang saya rasakan. Karena gejala-gejala seperti yang disebutkan tadi mengarah ke Covid-19. Ciri-cirinya mirip-mirip.
Minggu lalu saya mengalami demam dan diare. Dimulai dari hari Rabu malam, tiba-tiba badan saya menggigil seperti orang yang meriang. Saya langsung tarik selimut dan tidur saja sampai pagi. Keesokan harinya saya harus menguji beberapa tesis mahasiswa S2 secara onlen, namun tubuh saya terasa hangat. Demam. Saya tidak bisa konsentrasi. Semakin siang suhu badan saya semakin tinggi dan pernah mencapai hampir 39 derajat Celcius. Dan yang membuat saya menderita adalah saya diare (mencret) tiada henti. Tiap sebentar pergi ke toilet, meskipun BAB yang keluar hanya berbentuk cair. Saya coba meminum obat diare seperti Diatab dan Diapet, namun diare tidak berhenti juga.
Saya sudah mulai khawatir, jangan-jangan….. Ah, saya buang jauh-jauh pikiran ini, namun setiap kali membaca penjelasan di Internet tentang gejala covid, saya pun khawatir lagi. Diare dan demam adalah salah satu ciri Covid-19. Saya juga kehilangan selera makan, patah selera. Tidak mau makan. Namun yang masih saya syukuri, indra penciuman dan perasa saya masih normal. Setiap kali saya coba hirup minyak kayu putih, saya baui nasi, pisang, saya minum madu, masih terasa baik rasanya. Namun tetap saja ada rasa was-was di dalam hati.
Saya semakin gelisah ketika anak saya yang sulung, yang ABK, badannya juga hangat. Saya kontak istri, lalu saya minta pakai masker di rumah dan tidak dekat-dekat dengan saya dan anak. Saya mengisolasi diri di studio mini tempat saya bekerja di lantai dua.
Akhirnya Hari Jumat saya beranikan diri ke klinik Medika Antapani, berobat ke dokter umum, diantar anak saya yang tengah. Setelah menunggu cukup lama, tibalah giliran saya masuk ke ruang praktek dokter. Setelah menceritakan gejala yang saya alami, dokter merekomendasikan saya untuk tes swab antigen, setelah ada hasilnya nanti kembali lagi ke dokter tersebut.
Kebetulan di klinik tersebut juga menyediakan tes swab antigen, jadi saya tidak perlu jauh-jauh ke tempat lain. Dengan perasaan harap-harap cemas, saya mulai menjalani tes swab antigen. Hidung saya dicucuk dengan semacam cotton bud untuk mengambil cairan di hidung. Duh, perih ngilu. Saya agak tegang sih. Ini pertama kali saya dicucuk hidung, biasanya hanya mendengar cerita-cerita orang yang di-swab, sekarang saya menjalani sendiri.
Sambil menunggu hasi tes, pikiran saya berkelabat ke mana-mana. Saya memikirkan berbagai skenario kalau hasilnya positif. Itu berarti seluruh orang di rumah nanti harus di-swab juga, lalu isolasi mandiri. Yang saya pikirkan adalah anak sulung saya yang ABK, bagaimana dia menjalaninya nanti? Sambil berdoa, saya berharap agar hasilnya negatif, saya minta anak saya yang tengah mendoakan saya.
Setelah setengah jam menunggu, maka hasilnya segera keluar. Dan….alhamdulillah, hasilnya negatif. Saya pun bernapas lega. Saya kembali ke dokter umum tadi membawa hasil tes, dan dia berucap yang sama. Barulah dokter berani memeriksa badan saya. Setelah memberi resep obat, saya pun menuju apotik untuk membeli obatnya.
Setelah minum obat dari dokter selama dua hari, ternyata diare saya tidak berhenti juga. Kalau demam memang tidak ada lagi, tetapi diarenya masih, meskipun frekuensi ke belakang sudah berkurang menjadi satu dan dua kali saja. Selera makan saya sudah mulai agak normal. Namun diare itu masih menjadi pikiran saya. Sampai obatnya habis saya masih tetap diare, BAB nya masih cair atau bubur (maaf). Namun yang alhamdulillah, anak saya yang sulung, yang tadi demam, demamnya hanya satu hari, besoknya sudah sembuh.
Di dalam lembaran hasil tes swab antigen disebutkan bahwa hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan terinfeks SARS-Cov-2 sehingga masih beresiko menularkan kepada orang lain. Meskipun saya tidak batuk, tidak pilek, dan tidak demam lagi, namun indera penciuman dan perasa masih normal. Ini yang saya syukuri, sebab seperti yang saya baca, penderita covid kehilangan penciuman.
Untuk lebih meyakinkan lagi dan ingin sembuh dari diare, saya kembali berobat ke klinik Medika Antapani, tetapi kali ini ke dokter spesialis penyakit dalam (internis) pada Hari Selasa. Hari Senin dokter internis sudah penuh dengan pasien. Setelah menunggu sampai jam 13.00 (bayangkan dari jam 9 pagi), maka tibalah giliran saya. Saya ceritakan kondisi saya secara kronologis dan saya tunjukkan hasil tes swab antigen.
Dokter Faishol yang memeriksa saya adalah dokter yang sudah berusia lansia, tentu beliau sudah berpengalaman dengan berbagai penyakit. “Jadi, kenapa saya masih diare, Dok”, tanya saya. “Bapak mengalami gangguan pencernaan”, jawabnya. Oh…,jadi itu rupanya.
Dokter memberi resep obat. Ada dua macam obat yang harus saya minum, yang pertama antibiotik, yang kedua obat diare. Alhamdulillah, keesokan harinya saya sudah tidak diare lagi. BAB normal.
Begitulah pengalaman saya. Salah satu kesalahan saya adalah panik, khawatir, atau stres. Hal ini tidak boleh, sebab dapat menurunkan imun. Sebaiknya harus disikapi dengan tenang dan berpasrah diri kepada Allah SWT.
Moral dari kisah ini, saya semakin mensyukuri nikmat kesehatan dari Allah SWT. Betapa kesehatan itu adalah nikmat yang paling tinggi. Apa guna banyak uang tetapi badan sakit, maka uang itu tidak dapat kita nikmati. Sakit mengajarkan kita agar selalu menjaga kesehatan dan selalu bersyukur. Jangan merasa sombong dan takabur. Jangan menganggap enteng pandemi ini. Terima kasih ya Allah, semoga kami sekeluarga diberi selalu tubuh yang sehat dan dijauhkan dari berbagai penyakit, dan pembaca yang membaca kisah saya ini juga dilindungi oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal alamiin.
Studio Pandemi
Selama masa pandemi corona saya lebih banyak berkutat di ruang kecil di lantai dua rumah. Ini ruang kecil yang dulu dijadikan mushola keluarga. Karena sekarang kami lebih banyak sholat di lantai satu, maka ruangan mushola tersebut jarang digunakan.
Sejak pandemi corona bulan Maret 2020 yang lalu, praktis saya hanya di rumah saja, bekerja dari rumah. Mengajar dari rumah, rapat dari rumah, segalanya dari rumah. Onlen atau daring. Mengajar, seminar, sidang, dan rapat dari rumah mengandalkan suara yang lumayan keras kalau berbicara. Oleh karena itu, supaya tidak mengganggu yang lain dan juga tidak diganggu anak, maka saya pindah ke ruang kecil ex mushola ini.
Sekarang ruang kecil di pojok rumah itu saya jadikan tempat untuk mengajar onlen, seminar onlen, rapat onlen, sidang onlen, bimbingan onlen, perwalian onlen, dan juga menjadi studio dadakan untuk memproduksi video-video kuliah. Sebuah kasur tipis dihampar di lantai untuk rebahan jika penat. Saya menyebut studio kecil ini dengan nama studio pandemi.
Hampir setiap hari saya berada di sini karena pekerjaan pada semester genap ini lumayan menyita waktu juga. Sebagian besar waktu saya di sini habis untuk menyiapkan bahan kuliah daring dan merekam video kuliah yang akan diunggah di YouTube. Melayani mahasiswa yang perwalian, bimbingan Tugas Akhir, dan seminar-seminar serta sidang juga dari sini.
Kalau cape dan mengantuk saya berbaring sebentar di kasur di samping meja kerja (meja belajar anak saya dulunya). Di seberang ruang kecil ada balkon. Di sanalah saya berjemur pada pagi hari atau melihat suasana sore dari lantai dua rumah. Kalau hujan saya dapat melihat langsung airnya turun di sini.
Jenuh? Ya, bagaimana lagi, kondisinya seperti ini. Saya sudah rindu memgajar di kampus seperti dulu, bertemu mahasiswa, bercanda, bimbingan di kampus, dan bertemu kolega. Tapi keinginan tersebut sepertinya belum bisa terwujud saat ini. Kampus masih ditutup untuk aktivitas perkuliahan. Artinya sampai akhir semester saya saya kembali bertapa di ruang kecil ini. Entah bagaimana pada semester ganjil tahuna ajaran yang baru nanti.
Pohon Buah Tin di Halaman Rumah
Di rumah saya sedang tumbuh dua batang pohon tin. Saya tanam di dalam pot karena halaman rumah saya tidak luas. Satu bibit pohon tin saya dapatkan dari seorang teman di medsos, sedangkan satu lagi saya beli di tukang tanaman di depan GOR Arcamanik, Bandung.
Buah tin atau yang memiliki nama ilmiah Ficus carica ini dulunya banyak tumbuh di kawasan Asia Barat atau Timur Tengah. Buah tin juga disebut sebagai buah ara atau fig dalam Bahasa Inggris.
Subhanalah, pohon tin yang aslinya hidup di Timur Tengah ternyata bisa hidup subur di tanah nusantara. Daunnya lebar-lebar dan banyak. Pada mulanya daunnya seperti tiga jari, tetapi ketika melebar ia menjadi daun yang lancip. Ini gambar dua pohon tin di halaman rumah saya.
Buah tin adalah salah satu dari empat nama buah-buahan yang disebut di dalam Al-Quran (tiga lagi adalah buah kurma, buah zaitun, dan buah anggur). Begitu istimewanya buah tin ini sehingga di dalam Al-Quran terdapat sebuah surat yang diberi nama surat At-Tin. Bahkan Allah sendiri pernah bersumpah atas nama buah tin di dalam permulaan surat tersebut yang bunyinya:
Wattiini waz zaituun
Watuurisiniina
(Demi buah tin dan buah zaitun,
dan demi bukit Sinai)
(At-Tin, 1:2)
Karena Allah pernah bersumpah atas nama buah tin, saya menganggap buah tin adalah buah yang diberkahi. Buah surga. Para ahli telah menyelidiki manfaat buah tin untuk kesehatan. Dikutip dari sini, buah tin memiliki kandungan vitamin, mineral, dan fitonutrien yang baik untuk tubuh. Vitamin yang terkandung dalam buah tin antar lain Vitamin A, vitamin C, vitamin E, vitamin K, dan vitamin B kompleks. Terdapat juga kandungan mineral meliputi tembaga, kalium, zat besi, mangan, magnesium, kalsium, zinc, sodium, dan selenium.
Beberapa manfaat buah tin adalah untuk menjaga kesehatan jantung, menjaga saluran pencernaan, mengatasi anemia, menjaga kesehatan tulang, mengatasi insomnia, mengatasi masalah seksual, meningkatkan imunitas tubuh, dan lain-lain (selengkapnya baca ini, atau ini).
Saya sendiri belum pernah makan buah tin, hanya mendengar namanya saja. Dua tahun lalu ketika saya menunaikan ibadah haji, saya mencari-cari buah tin di supermarket di kota Mekkah. Namun sayang sekali saya tidak menjumpai buah tin segar, yang ada hanya buah tin yang sudah diawetkan menjadi manisan. Kalau sudah menjadi manisan tentu rasanya sudah tidak asli lagi, cuma rasa gula saja.
Pohon tin yang tumbuh di halaman rumah selalu saya rawat dengan sepenuh hati. Saya siram dan rutin diberi pupuk. Setiap hari sebelum berangkat ke kampus saya pandang-pandang pohon ini. Cepatlah berbuah, kata saya dalm hati. Saya tidak sabar untuk menikmati buah surga ini.
Setelah empat bulan tumbuh, maka pada suatu hari pohon tin mulai mengeluarkan beberapa buah putik. Makin lama putik semakin besar dan mulai menampakkan wujud seperti buah tin sebenarnya. Warnanya masih hijau, pertanda belum matang. Saya sudah tidak sabar menunggunya sampai merah.
Kelak jika sudah matang warnanya akan merah seperti di bawah ini (sumber foto dari sini). Hmmm…ranumnya.
Dan bila kita memotong buahnya, tampaklah daging buahnya yang seperti serat-serat berwarna marah. Serat-serat berwarna merah itu mengingatkan saya pada isi buah delima.
Dua hari yang lalu buah tin di pohon sudah menunjukkan tanda-tanda matang. Meskipun kulitnya belum berwarna merah seperti pada gambar, namun saya merabanya seperti sudah matang. Mungkin jenis buah tin yang sayang tanam berbeda dengan buah tin berwarna merah.
Sebelum buah surga ini disikat oleh kelelawar, kemarin saya petik. Saya potong empat, buat anak dan istri, sama-sama mencicipi, meski cuma sekerat saja. Rasanya? Manis dan segar. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa mencicipi buah tin hasil tanam sendiri. Terima kasih ya allah, atas nikmat buah surga dari-Mu.
~~~~~~~~~~~~
Surat At Tin
?????? ??????? ??????????? ???????????
- ??????????? ???????????????? wat-t?ni waz-zait?n (Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun),
- ???????? ??????????? wa ??ri s?n?n (demi gunung Sinai),
- ??????? ????????? ???????????? wa h??al-baladil-am?n dan demi negeri (Mekah) yang aman ini.
- ?????? ????????? ???????????? ????? ???????? ??????????? laqad khalaqnal-ins?na f? a?sani taqw?m (Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya),
- ????? ?????????? ???????? ???????????? ?umma radadn?hu asfala s?fil?n (kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya),
- ?????? ?????????? ????????? ?????????? ??????????? ???????? ?????? ?????? ??????????? illalla??na ?man? wa ‘amilu?-??li??ti fa lahum ajrun gairu mamn?n (kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya).
- ????? ??????????? ?????? ???????????? fa m? yuka??ibuka ba’du bid-d?n (Maka apa yang menyebabkan (mereka) mendustakanmu (tentang) hari pembalasan setelah (adanya keterangan-keterangan) itu?)
- ???????? ??????? ?????????? ????????????? a laisall?hu bi`a?kamil-??kim?n (Bukankah Allah hakim yang paling adil?)