if99.net

IF99 ITB

Archive for the ‘interpretasi sejarah’ Category

Interpretasi Sejarah

without comments

Kelas Kamis siang merupakan kelas yang menarik, mengulas pathway atau transisi sebuah society (nation), dari kebangkitan revolusi industri (British), modernisasi, pencapaian economic growth, kenapa revolusi industri terjadi di Inggris dan tidak di dunia lain, peran teknologi dalam pertumbuhan ekonomi, dan yang berkaitan.
Kelas yang juga cukup overloaded, sebab setiap minggunya seminar & diskusi, dengan bacaan 74-100 lembar, dari 3 buku wajib (Mockyr, Edgerton, Schot et.al), dan juga paper2 tambahan yang dibutuhkan. Exhaustive reading, entah gimana nanti bentuk examnya *&^%$#@!)(
Lima dosen didapuk untuk satu mata kuliah ini, dengan dosen utama full profesor, spesialis history of technology, transition society, yang sekaligus pejabat utama di Innovation Sciences TU/e, beliau memang terlihat ‘menonjol’, ahli di bidangnya.  Saya cukup senang di program master sekarang ini, salah satu sebabnya pengajar yg diturunkan para full profesor, walaupun tidak semuanya, kebanyakan full profesor sudah malang melintang di bidangnya, sehingga diskusi dan kupasan bisa lebih dalam.
Setelah 7 minggu berjalan, 7 seminar dan diskusi, maka pertemuan Kamis kemarin merangkum pembahasan kita, pada intinya, Joe Mockyr berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui technological progress, melalui inovasi. Buktinya? revolusi industri di Inggris, yang diikuti Eropa daratan lainnya. Tetapi Perancis (di buku Path Not Taken) tidak mengakui lebih ‘terlambat’ dari UK, tetapi mereka mengambil pathway technological progress-nya sendiri. Demikian pula Netherlands, dalam seminar yang akan digelar minggu depan, juga mengklaim tidak lebih terlambat dari UK, sebab NL mempunyai pathway technological progress nya sendiri, yang berbeda. whe he he he… seru juga ini sesama Eropa ^^
Basis pertumbuhan ekonomi adalah optimalisasi output, dan itu bisa dilakukan dg capital intensive, yaitu memakai teknologi untuk menggadakan output. Kalau menurut teori Schumpetarian (I & II), pada poinnya, inovasi (baru) akan  melahirkan enterpreneur, enterpreneur akan menggairahkan pertumbuhan ekonomi. Itu sebab negara (masih bahas Eropa) harus memberikan ruang kebebasan (untuk beraktivitas, berinovasi) bagi individu seluas-luasnya.  My question then COST issue, don’t you think that individual freedom will cost at freedom of others?
Agaknya Schumpetarian cucok bagi negara yang sudah developed/industrialized, tapi bagi developing coutries atau late industrial economies? tunggu dulu.. developing countries menggunakan bechmarking dan meniru resep ‘industrialization as main engine for economic growth’, dan teknologi yang digunakan adalah membeli/menggunakan teknologi buatan negara maju, jadi masih dalam tahap technological learning, mengadaptasi dan menyerap teknologi Western.  Jadi Schumpetarian harus dipertanyakan secara kritis, kebijakan National Innovation System di negara developing country tidak bisa serta merta ngeplek NIS negara maju, yang R&D intensif. (Pe er bwt memikirkan ini).
Tapi yang lebih menarik yang terjadi di kelas kamis kemarin adalah, di buku juga dikupas, mengapa British, dan mengapa tidak China? ini settingan waktunya abad 18 & 19. Hemm.. saya mengajukan pertanyaan yang lahir dari pemikiran logis, logika saja. Begini, untuk industrialisai dibutuhkan supply of capital (modal), dibuku disebutkan rasio jumlah ternak dan populasi di Eropa waktu itu cukup bagus (tidak over populasi) untuk membuat keluarga mempunya tabungan, sebagai kapital untuk industrialisasi.
Pertanyaan saya adalah, developing countries juga meniru resep industrialisasi Western, dan mereka meminjam dari World Bank, IMF, Bank swasta, pinjaman bilateral/multilateral sebagai supply capital nya, akibatnya sekarang terjebak kepada national debt.  Pada abad 18 & 19 itu, some Western had colonies, don’t you think they contribute to supply of capital for Western industrialization?
Prof: not all Western had colonies, usually families have saving, and China at that time they also have colony?
Me: Where ?
Prof: Well, they trade to somewhere in Africa
Me: That’s trading, friendship, not colony
Class laughing
Me: I don’t know you (looking at all class) admit it or not, but don’t you think colony contribute to the supply of capital for Western industrialization that time?
Prof: Not all industry big firms, it’s financed by family saving bla..bla..bla…
(penjelasan selanjutnya sudah dapat saya duga)
Heemm.. I was not insisting, saya menanyakan hal logis saja, tidak sedang menuntut. Hal yang menarik adalah:
- I was asking  professor history of technology, dimana koloni china abad 18 & 19? and no clear answer. Silahkan gugling, dan memang tidak ada jawabannya.  Mungkin kita perlu clear kan definisi koloni, kalau Western (seperti Belanda) mengkoloni, mereka membentuk sub-pemerintahan di negara koloni, mengirim gubernur, mengirim pasukan/tentara, mengeruk sumberdaya.
- Bagi orang Belanda (apalagi generasi tua), mengakui pernah mengkoloni Indonesia hampir-hampir ‘haram’. Mungkin karena mereka punya interpretasi sejarahnya sendiri, mungkin karena mengkoloni adalah sesuatu hal yang memalukan (embarassing) sehingga hampir-hampir tidak pernah diajarkan secara resmi pada generasi muda Belanda, mungkin sebab lain adalah apabila secara resmi mengakui mengkoloni, maka ada konsekuensi ekonomis (dan non ekonomis), misalnya Pay Back.  Dan di Mahkamah International akan banyak kasus yang digelar, kasus Westerling di Sulawesi Selatan, kasus gerbang Gede di sekitar Bekasi-Karawang, dan lain sebagainya. Pemerintah Belanda memang baru mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 pada TAHUN 2005. Menghadiri undangan di KBRI Den-Haag sejak tahun 2005 itu, sebelumnya tidak pernah. Jadi kesimpulannya, isu koloni masih merupakan isu sensitif bagi Belanda, maka tidak heran profesor saya tidak akan mengakui tentang ini.
Mungkin it was what it was, sejarah sudah begitu, kalaupun ada rekonsiliasi tidak mengapa, tapi butir-butir rekonsiliasi itu jangan sampai mengubur fakta. Sebab salah satu isu yang hendak disosialisasikan secara akademis adalah bahwa Indonesia tidak pernah dikoloni oleh Belanda.
Dan buat saya, mata kuliah ini masih menarik, I need to learn here, apapun yg saya butuhkan dan bisa didapat disini akan saya pelajari. Kebangkitan Western dan dominasinya selama berabad-abad terakhir ini pastilah mengandung banyak hal yang bisa dipelajari, yang bisa dipergunakan insyaAllah untuk mengabdi kepada tanah air nantinya.
Tapi tunggu, saya harus berusaha jernih membaca realitas, saya harus bersungguh-sungguh berupaya jernih membaca sejarah, I don’t want to be easily occupied by certain frameworks.

Kelas Kamis siang merupakan kelas yang menarik, mengulas pathway atau transisi sebuah society (nation), dari kebangkitan revolusi industri (British), modernisasi, pencapaian economic growth, kenapa revolusi industri terjadi di Inggris dan tidak di dunia lain, peran teknologi dalam pertumbuhan ekonomi, dan yang berkaitan.

Kelas yang juga cukup overloaded, sebab setiap minggunya seminar & diskusi, dengan bacaan 75-100 lembar, dari 3 buku wajib (Mockyr, Edgerton, Schot), dan juga paper2 tambahan yang dibutuhkan. Exhaustive reading, entah gimana nanti bentuk examnya *&^%$#@!)(

Lima dosen didapuk untuk satu mata kuliah ini, dengan dosen utama full profesor, spesialis history of technology, transition society, yang sekaligus pejabat utama di Innovation Sciences TU/e, beliau memang terlihat ‘menonjol’, ahli di bidangnya.  Saya cukup senang di program master sekarang ini, salah satu sebabnya pengajar yg diturunkan para full profesor, walaupun tidak semuanya, kebanyakan full profesor sudah malang melintang di bidangnya, sehingga diskusi dan kupasan bisa lebih dalam (relatif juga siy ya he..he. .mengingat professorship dari itungan publikasi dan juga kadang hirarki).

Setelah 7 minggu berjalan, 7 seminar dan diskusi, maka pertemuan Kamis kemarin merangkum pembahasan kita, pada intinya, Joe Mockyr berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui technological progress, melalui inovasi. Buktinya? revolusi industri di Inggris, yang diikuti Eropa daratan lainnya. Tetapi Perancis (di buku Path Not Taken) tidak mengakui lebih ‘terlambat’ dari UK, tetapi mereka mengambil pathway technological progress-nya sendiri. Demikian pula Netherlands, dalam seminar yang akan digelar minggu depan, juga mengklaim tidak lebih terlambat dari UK, sebab NL mempunyai pathway technological progress nya sendiri, yang berbeda. whe he he he… seru juga ini sesama Eropa ^^

Basis pertumbuhan ekonomi adalah optimalisasi output, dan itu bisa dilakukan dg capital intensive, yaitu memakai teknologi untuk menggandakan output. Kalau menurut teori Schumpetarian (I & II), pada poinnya, inovasi (baru) akan  melahirkan enterpreneur, enterpreneur akan menggairahkan pertumbuhan ekonomi. Itu sebab negara (masih bahas Eropa) harus memberikan ruang kebebasan (untuk beraktivitas, berinovasi) bagi individu seluas-luasnya.  My question then COST issue, don’t you think that individual freedom will cost at freedom of others?

Agaknya Schumpetarian cucok bagi negara yang sudah developed/industrialized, tapi bagi developing coutries atau late industrial economies? tunggu dulu.. developing countries menggunakan bechmarking dan meniru resep ‘industrialization as main engine for economic growth’, dan teknologi yang digunakan adalah membeli/menggunakan teknologi buatan negara maju, jadi masih dalam tahap technological learning, mengadaptasi dan menyerap teknologi Western.  Jadi Schumpetarian harus dipertanyakan secara kritis, kebijakan National Innovation System di negara developing country tidak bisa serta merta ngeplek NIS negara maju, yang R&D intensif. (Pe er bwt memikirkan ini).

Tapi yang lebih menarik yang terjadi di kelas kamis kemarin adalah, di buku juga dikupas, mengapa British, dan mengapa tidak China? ini settingan waktunya abad 18 & 19. Hemm.. saya mengajukan pertanyaan begini, untuk industrialisai dibutuhkan supply of capital (modal), dibuku disebutkan rasio jumlah ternak dan populasi di Eropa waktu itu cukup bagus (tidak over populasi) untuk membuat keluarga mempunya tabungan, sebagai kapital untuk industrialisasi.

Pertanyaan saya adalah, developing countries juga meniru resep industrialisasi Western, dan mereka meminjam dari World Bank, IMF, Bank swasta, pinjaman bilateral/multilateral sebagai supply capital nya, akibatnya sekarang terjebak kepada national debt.  Pada abad 18 & 19 itu, some Western had colonies, don’t you think they contribute to supply of capital for Western industrialization?

Prof: not all Western had colonies, usually families have saving, and China at that time they also have colony?

Me: Where ?

Prof: Well, they trade to somewhere in Africa

Me: That’s trading, friendship, not colony

Class laughing

Me: I don’t know you (looking at all class) admit it or not, but don’t you think colony contribute to the supply of capital for Western industrialization that time?

Prof: Not all industry big firms, it’s financed by family saving bla..bla..bla…

(penjelasan selanjutnya sudah dapat saya duga)

Heemm.. I was not insisting, saya menanyakan hal logis saja, tidak sedang menuntut. Hal yang menarik adalah:

- I was asking  professor history of technology, dimana koloni china abad 18 & 19? and no clear answer. Silahkan gugling, dan memang tidak ada jawabannya.  Mungkin kita perlu clear kan definisi koloni, kalau Western (seperti Belanda) mengkoloni, mereka membentuk sub-pemerintahan di negara koloni, mengirim gubernur, mengirim pasukan/tentara, mengeruk sumberdaya.

- Bagi orang Belanda (apalagi generasi tua), mengakui pernah mengkoloni Indonesia hampir-hampir ‘haram’. Mungkin karena mereka punya interpretasi sejarahnya sendiri, mungkin karena mengkoloni adalah sesuatu hal yang memalukan (embarassing) sehingga hampir-hampir tidak pernah diajarkan secara resmi pada generasi muda Belanda, mungkin sebab lain adalah apabila secara resmi mengakui mengkoloni, maka ada konsekuensi ekonomis (dan non ekonomis), misalnya Pay Back.  Dan di Mahkamah International akan banyak kasus yang digelar, kasus Westerling di Sulawesi Selatan, kasus gerbang Gede di sekitar Bekasi-Karawang, dan lain sebagainya. Pemerintah Belanda memang baru mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 pada TAHUN 2005. Menghadiri undangan di KBRI Den-Haag sejak tahun 2005 itu, sebelumnya tidak pernah. Jadi kesimpulannya, isu koloni masih merupakan isu sensitif bagi Belanda, maka tidak heran profesor saya tidak akan mengakui tentang ini.

Mungkin it was what it was, sejarah sudah begitu, kalaupun ada rekonsiliasi tidak mengapa, tapi butir-butir rekonsiliasi itu jangan sampai mengubur fakta. Sebab salah satu isu yang hendak disosialisasikan secara akademis adalah bahwa Indonesia tidak pernah dikoloni oleh Belanda.

Dan buat saya, mata kuliah ini masih menarik (meski tak semenarik itu lagi ^^), I need to learn here, apapun yg saya butuhkan dan bisa didapat disini akan saya pelajari. Kebangkitan Western dan dominasinya selama berabad-abad terakhir ini pastilah mengandung banyak hal yang bisa dipelajari, yang bisa dipergunakan insyaAllah untuk mengabdi di tanah air nantinya.

Tapi tunggu, saya harus berusaha jernih membaca realitas, harus bersungguh-sungguh berupaya jernih membaca sejarah, I don’t want to be easily occupied by certain frameworks. Saya harus terus belajar, dan harus punya sikap.

Written by ibu didin

April 4th, 2010 at 1:05 pm