Archive for March, 2022
Serumah dengan Pasien Covid
Tiga minggu lalu, hari Jumat sore, istri saya pulang dari Surabaya. Sehari setelah tiba di rumah dia biasa-biasa saja. Tapi tiga hari kemudian, hari Senin, dia mulai merasa tidak enak badan. Malam hari badan terasa demam. Keesokan harinya tenggorokan dan kerongkongan mulai terasa sakit, susah menelan makanan. Batuk pun mulai terdengar satu satu. Jangan-jangan…., ya jangan-jangan positif. Kata positif dulu untuk kehamilan, sekarang berganti untuk kasus covid. Dulu saat awal menikah kata yang ditunggu adalah positif, sekarang kata yang didambakan adalah kata negatif.
Hari Selasa sore dia minta diantar oleh anak saya yang nomor dua untuk tes rapid antigen di klinik Medika Antapani. Setelah menunggu tiga puluh menit, hasilnya keluar. Qadarullah, positif!
Saya pun terhenyak mendengarnya. Sudah dua tahun sejak pandemi dimulai bulan Maret 2020, belum pernah ada kasus positif di rumah kami. Akhirnya pertahanan itu jebol juga. Yang terkena adalah istri saya yang mungkin dapat oleh-oleh virus di Surabaya atau di atas kereta api (Bandung-Surabaya naik kereta Argo Wilis pp). Tak tahulah dapat di mana. Istri sudah vaksin dua kali. Anak-anak di rumah juga sudah vaksin dua kali, sedangkan saya sudah booster (vaksin ketiga).
Setelah istri sampai di rumah, maka SOP pun saya terapkan. Istri isoman saja di kamarnya. Keluar hanya jika ke kamar mandi saja. Kalau keluar kamar pun harus pakai masker. Makan minum saya antarkan ke depan pintu kamar. Anak-anak diminta tidak ke kamar ibunya dan tidak berada dekat-dekat dengan ibunya. Kalau istri mau keluar kamar, maka anak-anak saya suruh mengumpet dulu di kamar. Pembantu rumah tangga pun saya suruh menjauh ke belakang rumah. Hehehe…, agak parno ya, tapi bagaimana lagi, ini kan dalam rangka ikhtiar tidak terkena. Kalau terkena semua kan gawat. Apalagi kami punya anak sulung yang ABK (anak berkebutuhan khusus), yang tidak paham apa itu covid, dan tidak mungkin bisa diisolasi jika terkena. Dia tidak bisa diam. Maklum anak autis.
Setelah berdiskusi dengan istri via WA, akhirnya pembantu rumah tangga yang biasa datang pagi dan pulang sore terpaksa saya “rumahkan”. Tidak usah masuk kerja dulu, karena dia punya komorbid, diabetes, dan lagipula dia belum pernah vaksin sama sekali (karenakadar gulanya tinggi, di atas 200 sehingga tidak bisa divaksinasi). Jika dia terkena bisa parah ‘kan.
Setelah pembantu pulang, malam hari anak sulung yang ABK itu badannya panas. Semalaman dia gelisah tidur. Saya pun agak panik. Jangan-jangan…. ah, tetapi pikiran itu saya buang, karena anak sulung ini mudah masuk angin. Jika masuk angin maka badannya pasti demam. Saya ukur suhunya 38 deajat. Saya pun tidak bisa tidur semalaman karena si sulung terus terbangun. Saya kompres dahinya, saya usap badannya dengan minyak kayu putih, dan saya minumkan Decolgen. Itu cara saya yang biasa menurunkan demamnya.
Besok pagi panas si sulung mulai turun. Dia mulai ceria lagi. Tapi sore harinya panasnya mulai naik lagi. Minum Decolgen lagi, dan alhamdulillah malamnya sudah normal kembali. Jadi saya makin yakin dia memang masuk angin saja. Tinggal saya yang karena tidak tidur semalaman maka badang terasa tidak enak, tetapi tidak panas. Batuk mulai satu-satu.
Kembali ke istri saya. Dia hanya di kamar saja, tidur saja, karena badan tidak enak. Batuk pun mulai keras. Obat gratis yang diharapkan dikirim dari Kemenkes tidak datang-datang, padahal di aplikasi Peduli Lindungi statusnya sudah hitam (yang berarti terkena covid). Kemenkes sudah menghubungi istri via WA, tetapi anehnya disuruh menghubungi Puskesmas Kuta, Bali. Kacau nggak tuh data di Peduli Lindungi, kok Kuta? Ini kan di Bandung Jawa Barat gaesss. Hehehe…
Akhirnya saya menghubungi, Rosye, teman di Dinas Kesehatan Kota Bandung, minta dikirimi obat untuk penderita covid. Kok nggak dari awal-awal, katanya? Dengan sigap dia kirim paket obat ke rumah via gojek. Isinya tiga macam obat: pertama obat antivirus yang namanya Avigan, lalu multivitamin + zinc, dan terakhir vitamin D3 1000 IU. Avigan sebanyak 40 tablet, diminum pada hari pertama 2 x 8 butir (haaa? 8 butir sekali minum? ), hari ke-2 sampai hari ke-5 sebanyak 2 x 3 butir. Multivitamin satu kali sehari saja untuk 10 hari. Kalau badan masih panas minum parasetamol saja. Begitu juga kalau batuk pakai obat pasaran saja.
Jadi, selain istri, di rumah hanya saya dan si sulung ABK yang gejalanya seperti orang positif covid karena ada batuk dan sedikit pilek, sedangkan si tengah dan si bungsu tidak apa-apa. Maklum mereka berdua lebih banyak di kamar saja. Saya sendiri antara yakin dan tidak yakin ini covid atau bukan, karena gejalanya mirip dengan flu. Kalau mau kepastian positif atau negatif sih tes antigen atau PCR saja. Mungkin saya dan si sulung OTG, tapi anggap sajalah terkena omicron, jadi tidak perlu dites lagi. Toh dua hari juga sudah sembuh, hanya tersisa batuk sesekali. Resep yang saya tulis pada tulisan sebelumnya benar-benar saya laksanakan, yaitu minum air putih sesering mungkin, berjemur pagi, minum multvitamin. Kasus covid oleh virus omicron memang cepat sembuhnya karena gejalanya ringan bagi orang yang sudah vaksin dua kali dan tidak punya komorbid.
Istri saya yang karena tes rapid antigennya di Antapani, maka datanya cepat masuk ke Puskesmas Jajaway dan ke Satgas covid di RW kami. Pada hari kelima datanglah Pak RW dan Bu RW ke rumah mengantar paket sembako. Isinya seplastik telur ayam, pisang, dan madu. Untuk meringankan, katanya. Alhamdulillah, bentuk perhatian dari RW. Ternyata di RT saya yang terkena omicron tidak hanya istri saya saja, tetapi ada 15 orang! Waduh, banyak juga, tapi semuanya gejala ringan.
Setelah sepuluh hari isoman, istri saya merasa sudah lebih baik. Makan sudah enak, kerongkongan sudah tidak sakit lagi, batuk sudah jarang. Tanda hitam di Peduli Lindungi sudah berubah mejadi hijau. Alhamdulillah sudah sembuh, dan besok sudah mulai masuk kerja lagi.
Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah.