Archive for January, 2021
Mamang Pedagang Bacang
Pagi-pagi dia sudah berkeliling perumahan di Antapani dengan sepedanya, menjajakan bacang yang masih hangat. Tiga buah bacang harganya sepuluh ribu. Saya yang olahraga jalan kaki setiap pagi selalu bertemu dengan mamang ini. Saya lupa menanyakan namanya, sebut saja Mang Aryo.
“Bacaaaanggg…bacaaaanggg...”,teriak Mang Aryo dengan suara khas sambil terus mengayuh sepeda.
Bacang adalah penganan yang terbuat dari beras ketan dan diisi dengan daging cincang (ayam atau sapi) yang dimasak dengan kecap dan bumbu-bumbu lainnya, kemudian dibungkus dengan daun bambu, lalu dikukus sampai matang.
Bacang berbentuk limas segitiga. Dulu saya kira bacang adalah penganan khas Sunda, karena orang Sunda suka makan bacang. Ternyata saya salah, bacang adalah penganan khas Tionghoa (cina), dan tentu saja daging di dalam bacang adalah daging babi. Dalam budaya lokal, bacang diadaptasi yang tadinya daging babi menjadi daging sapi atau daging ayam.
Di Bandung bacang mudah ditemukan di warung atau di kedai kue basah. Ia dijajarkan dengan jajanan seperti bala-bala, risoles, kue sus, dan sebagainya. Bacang lebih enak dimakan dalam keadaan hangat, terutama yang baru dikukus.
Dikutip dari situs ini, “Bacang adalah tradisi Tionghoa. Bacang sudah menjadi makanan yang bisa ditemukan setiap hari oleh para pedagang di pasar. Namun sebelum dijual secara umum, makanan ini hanya dimakan pada saat perayaan suku Tionghoa di Indonesia, yaitu festival Peh Cun.
Pada festival ini, orang-orang Tionghoa akan sembahyang kepada para leluhur dan mempersembahkan bacang yang sudah dibuat. Pada festival ini juga ada perlombaan perahu naga. Festival Peh Cun dirayakan setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.“
Anak saya yang sekarang kuliah onlen suka makan bacang. Makanya, ketika saya jalan pagi dan ketemu Mang Aryo, saya beli bacangnya untuk penganan anak saya. Kalau saya sendiri sih kurang suka makan bacang karena rasa dagingnya manis. Lidah Minang saya masih susah menerima masakan yang rasanya manis seperti gudeg, abon, termasuk bacang, meskipun saya sudah puluhan tahun di tanah Sunda. Bagi saya masih lebih enak makan lemang daripada makan bacang.
Bacang yang dijual Mang Aryo memang bukan dia sendiri yang membuatnya, tetapi bersama-sama dengan temannya. Dia menjual beberapa puluh ikat di dalam box di belakang sepedanya. Ketika matahari baru terbit di timur, saat sebagian orang masih di dalam selimut, dia sudah mengayuh sepeda keliling Antapani menjajakan bacangnya.
Keuntungan menjual bacang yang tidak banyak itu memang tidak seberapa. Tetapi saya salut dengan usahanya yang gigih mencari nafkah halal dengan berjualan bacang.
Usai menyerahkan tiga buah bacang di dalam kantong keresek, Mas Aryo segera mengayuh sepedanya lagi menawarkan bacangnya.
“Bacaaaanggg…bacaaaanggg...”,teriaknya sambil terus mengayuh sepeda.
Semoga rezeki yang diperolehnya setiap pagi barokah.
Kenangan pada Sriwijaya Air
Awal tahun 202, tepatnya tanggal 9 Januari 2021, bangsa Indonesia dikejutkan oleh kecelakaan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air dengan kode SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Baru mengudara 4 menit setelah take off dari Bandara Soekarno Hatta, pesawat itu jatuh menghunjam laut. Hingga hari ini pencarian korban (yang kemungkinan besar tewas semua) masih berlangsung di tengah hujan yang selalu mengguyur setiap hari. Duka mendalam bagi para keluarga korban, insya Allah penumpang yang tewas itu mati dalam keadaan syahid.
Inilah salah satu dari lima kecelakaan pesawat terburuk di Indonesia (Baca: Sriwijaya Air Jatuh, Ini 5 Kecelakaan Pesawat Terburuk di Indonesia). Saya yang sudah 10 bulan lebih tidak pernah terbang lagi karena pandemi corona, sehingga tidak bisa (dan tidak mau) pergi ke mana-mana, tetap ada perasaan bergidik setiap kali mendengar ada pesawat terbang jatuh. Namun seperti yang pernah saya tulis dulu, kalau sudah berada di atas pesawat, maka seluruhnya total saya berserah diri dan memasrahkan diri kepada Allah SWT semata, memohon keselamatan dan perlindungan di dalam perjalanan. Hidup dan mati sudah ditentukan waktunya oleh Allah Yang Maha Kuasa. Saya kutip quote dari foto profil pilot SJ-182 yang jatuh itu, Captain Afwan, yang menginspirasi:
“Setinggi apapun aku terbang, tidak akan mencapai surga bisa tidak shalat lima waktu”
Gambar dan kutipan diambil dari sini. Artikel lainnya bisa dibaca di sini.

Saya terkenang naik pesawat ini. Dulu sebelum pandemi saya cukup sering naik pesawat Sriwijaya Air, baik kalau pulang kampung ke Padang, atau jalan-jalan bersama keluarga ke tempat wisata yang penerbangan ke kota tujuan dilayanai oleh Sriwjaya Air (antara lain ke Malang dan Tanjungpandan, Belitung), atau kalau transit ke Jakarta dari Bandar Lampung. Saya mengajar menjadi dosen terbang di ITERA Lampung. Saat balik, jika tidak naik pesawat Wings Air yang ke Bandung, biasanya saya naik Garuda atau Sriwijaya ke Jakarta. Barulah dari Jakarta saya naik travel ke Bandung.
Dibanding Lion Air, pelayanan Sriwijaya Air menurut saya jauh lebih baik meski keduanya sesama low cost carrier. Dari pengalaman saya terbang, Sriwijaya delay-nya tidak sesering/selama Lion, kita pun dapat makanan ringan dan minum di dalam pesawat (layanan ini tidak ada pada maskapai low cost carrier lainnya), pramugarinya pun ramah-ramah.
Namun satu hal yang paling berkesan bagi saya adalah kebijakan maskapai ini yang membuat saya simpati. Pemilik Sriwijaya Air (seorang Tionghoa dermawan asal Pulau Bangka) membebaskan pramugarinya memakai seragam sesuai keyakinan agamanya, yaitu memakai busana muslimah (jilbab).
Kebijakan ini menurut saya sesuatu yang mungkin agak sulit terjadi di maskapai lain. Ketika saya naik Sriwijaya Air dari Bandar Lampung, beberapa orang pramugarinya tampak mengenakan jilbab. Mereka terlihat charming, rapi, cantik, dan elegan memakai seragam pramugari Sriwijaya dalam balutan jilbabnya. Memakai busana muslimah tidak menghalanginya untuk tetap gesit membantu penumpang mengangkat koper ke dalam kabin, menutup bagasi kabin, membagikan snack, dan melayani permintaan penumpang.
Saya mengapresiasi kebijakan maskapai ini yang memperbolehkan pramugarinya memakai busana muslimah. Menurut saya pemilik dan manajemen Sriwijaya Air memiliki jiwa yang bhinneka tunggal ika dan menghayati betul Pasal 29 UUD yang menghormati setiap orang memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Semoga musibah yang baru terjadi tidak menyurutkan orang untuk naik pesawat. Pesawat terbang merupakan mode tranportasi yang paling aman dari segi keselamatan. Kecelakaan yang terjadi pada pesawat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mode transportasi darat (bus, mobil, kereta api) dan laut (kapal penumpang, ferry, perahu). Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, setiap kali kita bepergian, pasrahkan diri dan serahkan diri kepada Allah SWT saja.
Bapak Penjual Tahu Sumedang (2)
Tahuuu…..
Setiap pagi bapak penjual tahu sumedang lewat di depan rumah saya. Dia memikul dua buah ketiding bambu (apa ya Bahasa Indonesianya?). Satu ketiding berisi penuh tahu goreng, satu ketiding lagi berisi lontong. Di kota besar seperti Bandung masih cukup banyak pedagang yang berjualan makanan dengan cara dipikul secara tradisionil pada bahu seperti itu.
Selain tahu dan lontong, dia juga menambah jualannya dengan membawa telur asin, kerupuk-keripik, dan camilan-camilan lain dari Sumedang. Sesak sekali pikulannya. Tentu berat sekali.
+ Wah, berat sekali ini, Pak. Berapa kilo berat semuanya?
– Awalnya 40 kg, tapi berkurang terus setiap ada yang beli.
– Sudah berapa tahun jualan seperti ini, Pak?
+ Sudah 30 tahun lebih pak, sejak Antapani ini masih sawah-sawah, belum perumahan seperti sekarang.
Tahu yang dijualnya didatangkan langsung dari Sumedang. Sumedang terkenal dengan tahunya yang khas. Tahu-tahu itu dipasok dari juragan tahu di Sumedang. Dia hanya menjualkan saja secara keliling, masuk kampung keluar kampung. Tapi dia memang tinggal di Sumedang, bolak balik ke Bandung.
+ Dari Sumedang ke Bandung naik apa, Pak?
– Naik colt buntung, Pak
+ Kalau tahunya tidak habis bagaimana?
– Kalau tidak habis saya menginap dulu di mess yang disediakan juragan.
Juragan tahu menyediakan mess bagi penjual tahunya di daerah Bandung Timur. Para penjual tahu menginap di sana. Setiap pagi pasokan tahu goreng datang langsung dari Sumedang. Seminggu sekali mereka pulang ke Sumedang membawa penghasilan berjualan tahu, kemudian kembali lagi ke Bandung. Profesi ini sudah dilakoninya selama 30 tahun! Itu artinya sejak saya datang ke kota Bandung ini.
Saya sampai hampir lupa membeli tahunya karena asyik mengobrol.
+ Berapa harga tahunya, Pak?
– Biasa, sepuluh lima ribu.
+ Saya beli dua puluh ya
Tahu Sumedang dan uang sepuluh ribu berpindah tangan. Cocok untuk teman sarapan pagi dengan nasi hangat.
Saya selalu bersimpati kepada orang-orang kecil yang gigih mencari nafkah secara halal. Betapa berat beban yang dia pikul, tetapi keikhlasan tampak di matanya. Orang-orang seperti ini berjuang mencari rezeki untuk keluarga yang ditinggalkannya.
Saya jadi teringat almarhum ayah saya. Setiap hari, usai sholat Subuh, ia berjalan kaki menuju terminal bus. Bapak saya adalah penjual daging sapi. Daging sapi itu dibeli di luar kota, awalnya di Lubuk Alung, lalu di Padangpanjang, kemudian di Bukittinggi. Daging-daging segar itu dibeli di sana, lalu dibawa lagi ke Padang sebelum siang dengan menggunakan bus umum. Di Padang daging sapi itu dijual ke pedagang sate atau dijual ke pedagang daging di los Pasar Raya Padang. Hal itu dilakukannya setiap hari untuk nafkah keluarga kami. Dari perbedaan harga beli dan harga jual itulah ayah saya mendapat sedikit keuntungan membiayai sekolah saya dan kakak-kakak saya, hingga saya bisa berkuliah di Bandung. Saya bisa seperti sekarang adalah karena perjuangan ayah saya yang rela berjualan setiap hari. Alfatihah buat almarhum ayah dna ibu saya. Amiin.