Archive for June, 2011
Ulama Bukan Bemper Pemerintah
Pemerintah kita sepertinya sudah putus asa dan kehabisan akal dalam mengerem konsumsi bensin premium. Setelah himbauan melalu spanduk dan iklan yang mengkampanyekan BBM bersubsidi (premium) hanya bagi kalangan tidak mampu ternyata kurang berhasil, sekarang Pemerintah menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk justifikasi kebijakan Pemerintah. Seperti dikutip dari sini, Ketua MUI Ma’ruf Amin mewacanakan fatwa haram konsumsi premium bagi orang kaya. Meskipun itu baru sebatas pendapat pribadi beliau saja dan belum menjadi fatwa MUI, tak pelak rencana fatwa tersebut dikecam banyak orang. Terkesan ulama dijadikan bemper Pemerintah.
Tentu saja banyak orang yang mencimeehkan (mencemooh) rencana fatwa tersebut serta mengecam Pemerintah yang membawa-bawa lembaga agama untuk justifikasi kebijakannya. Fakta bahwa subsidi harga premium dinikmati orang kaya itu adalah kesalahan Pemerintah dalam mengelola kebijakan, tidak perlulah ulama dibawa-bawa untuk mengerem konsumsi premium oleh orang kaya.
Meskipun dalam beberapa hal saya tidak sejalan dengan ormas HTI (Hizbut Thahir Indonesia), tetapi pendapat mereka tentang harga premium yang semakin tinggi patut didengar. Naiknya harga minyak dunia adalah akibat liberalisasi perdagangan, bukan kesalahan rakyat yang banyak mengkonsumsi premium. Kalau ingin mengurangi subsidi premium, naikkan saja harganya lima ratus perak sehingga genap menjadi lima ribu rupiah per liter, ketimbang membuat fatwa haram. Lima ratus rupiah adalah nilai yang wajar dan siapapun rakyat ini dapat mengerti dan menerimanya.
Kalaupun fatwa haram itu keluar rasanya juga aneh. Hukum Islam itu universal dan berlaku di seluruh dunia. Jika di Indonesia orang kaya muslim haram membeli premium tetapi di luar negeri tidak haram tentu fatwa itu menjadi janggal. Kemudian akan ada diskriminasi terhadap penganut agama lain, sebab fatwa itu hanya berlaku bagi orang Islam saja, sehingga orang kaya Kristen, Hindu, dan Budha akan bebas-bebas saja membeli premium dan bukannya pertamax.
Persoalan lain yang memicu perdebatan adalah definisi orang kaya. Apa definisi seseorang disebut kaya? Akan timbul perdebatan dalam mendefinisikan batasan orang kaya. Apakah orang kaya adalah orang yang mampu membeli mobil? Kalau iya, mobil yang harganya berapa? Banyak juga keluarga sederhana — tidak kaya — mampu membeli mobil bekas yang harganya murah dan terjangkau sekitar 10 jutaan, apakah mereka digolongkan sebagai orang kaya?
Meski sebenarnya alasan fiqih Pak Ma’ruf Amin mewacanakan fatwa haram itu benar, yaitu mengambil hak orang lain adalah perbuatan dosa, namun tidak sepantasnya dijadikan fatwa resmi. Rakyat akan menilai ini fatwa pesanan Pemerintah, dan akhirnya citra ulama menjadi tercoreng karena telah menjadi alat pembenar Pemerintah.
Ulama seharusnya menjaga jarak dengan Pemerintah dan berpihak pada umat. Saya menaruh hormat kepada (alm) Buya Hamka ketika memimpin MUI zaman dulu yang tetap konsisten dalam menjaga jarak dengan Pemerintah. Misalnya fatwa haram perayaan Natal bersama yang mendapat kritik Pemerintah Soeharto kala itu, fatwa haram KB dengan cara vasektomi dan tubektomi yang dianggap mengganggu program KB nasional, fatwa haram “ekspor” TKW tanpa mahram ke luar negeri (yang tidak didengar Pemerintah sehingga akhirnya terjadilah kasus pemancungan seperti Ruyati itu), dan lain-lain.
Masih banyak hal-hal yang perlu dibuatkan fatwa haram oleh para ulma, misalnya penjualan aset rakyat seperti pertambangan, migas, dan lain-lain kepada perusahaan asing. Dengan dalih UU SDA yang menghalalkan penjualan aset rakyat kepada kapaitalisme dunia, aset-aset milik rakyat itu akhirnya dikuasai asing. Saya berharap semoga fatwa haram konsumsi premium oleh orang kaya itu tidak jadi keluar, semoga ulama-ulama MUI tetap “sadar” tidak diperalat oleh Pemerintah.

Kasih Sayang Ayah
Ada tulisan yang inspiratif yang saya dapat dari sebuah milis. Saya bagi ya kepada para pembaca, terutama para ayah atau calon ayah, agar dapat dijadikan hikmah pelajaran. Kebetulan hari ini, 29 Juni, adalah peringatan “Hari Keluarga” sehingga pas dengan tema tulisan ini.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kasih Sayang Ayah
Ada sebuah kisah dari Spanyol tentang seorang ayah dan anak yang lama terpisah. Sang anak lari dari rumah, dan sang ayah mencarinya selama berbulan-bulan tanpa hasil. Akhirnya, sang ayah memasang iklan di sebuah surat kabar ibukota, berbunyi: ”Paco sayang, temui aku di depan kantor surat kabar ini, jam 12 siang, hari Sabtu. Semuanya sudah aku ampuni. Aku mengasihimu. Ayahmu.” Di hari Sabtu itu, ada 800 orang bernama Paco berkumpul, untuk mencari kasih dan pengampunan dari seorang ayah yang sangat mengasihinya.
Statistik mengatakan bahwa orang-orang yang kehilangan kasih ayahnya akan tumbuh dengan kelainan perlaku, kecenderungan bunuh diri, dan menjadi kriminal yang kejam. Sekitar 70% dari penghuni penjara dengan hukuman seumur hidup adalah orang-orang yang bertumbuh tanpa ayah.
Para ayah, Anda dirindukan dan dibutuhkan oleh anak-anak Anda. Jangan habiskan seluruh energi dan pikiran di tempat kerja, sehingga waktu tiba di rumah para ayah hanya memberikan ”sisa-sisa” energi dan duduk menonton TV. Peluk anak-anak Anda, dengarkan cerita mereka, ajarkan kebenaran & moral. Dan Anda tidak akan menyesal, karena anak-anak Anda akan hidup sesuai jalan yang Anda ajarkan & persiapkan.
Satu ayah lebih berharga daripada 100 guru di sekolah. (George Herbert)

Lontong Padang Berlauk Rendang
Di kota Bandung ini cukup banyak pedagang kaki lima yang menjual makanan khas Minang bernama lontong (ketupat) sayur. Mungkin karena di Di Bandung banyak perantau “urang awak” yang bekerja sebagai pedagang, pegawai, dan mahasiswa. Soal urusan perut mereka pasti akan mencari-cari makanan kampung halaman seperti ketupat sayur. Ketupat sayur adalah sarapan pagi seperti halnya bubur ayam atau nasi kuning di Bandung. Ketupat yang khas adalah katupek gulai paku, yaitu ketupat dengan sayur gulai pakis. Jarang-jarang di Bandung ketemu gulai paku ini.
Nah, saya sudah mencoba banyak ketupat sayur dari berbagai pedagang. Selama ini ketupat sayur yang maknyus dan mantap rasanya adalah ketupat sayur Ombak Piaman di Jalan Kuningan raya, Antapani (pertigaan dengan Jalan Cibatu), dekat rumah saya. Pedagangnya seorang ajo Piaman (julukan daerah Pariaman di Sumbar). Khas ketupat sayur ini adalah kuahnya yang kental. Sayurnya adalah gulai nangka muda yang berwarna kuning kemerahan dan gulai buncis yang berwarna hijau.
Ternyata ada lagi ketupat sayur yang enak dan mantap rasanya, yaitu ketupat di kedai Dapur Minang Lima Saudara di Jalan Bagusrangin (dekat jalan Dipati Ukur). Pedagangnya bernama Ajo Herman, asal dari Pariaman juga tepatnya dari Sungai Garinggiang, Kabupaten Pariaman, Sumbar (kebanyakan pedagang ketupat sayur memang berasal dari Pariaman, baik yang berjualan di Padang maupun yang di tanah rantau). Sudah 3 tahun Ajo Herman berjulan di Bandung, sebelumnya dia sudah mencoba berdagang yang sama di Padang lalu di Jabotabek.
Di kedai Ajo Herman ini tidak hanya menjual ketupat sayur, hampir semua makanan dan jajanan khas Minang ada di sana. Ada bubur kampiun, kacang padi (bubur kacang hijau), teh talua (teh pakai telur), sarikayo (srikaya), goreng pisang rajo + katan (ketan), lapek, lupis, dan lain-lain. Wah, benar-benar lengkap ya, benar-benar palapeh lambuang, kanyang rasonyo makan di sana.
Yang menarik adalah ketupat sayurnya pakai rendang. He..he, baru kali ini saya menemukan ketupat sayur padang pakai daging rendang, di negeri asal makanan itu sendiri ketupat sayur tidak pakai apa-apa, hanya ketupat dan gulai sayur saja. Di Bandung ketupatnya dapat ditambahi telur ayam, tetapi di kedai Ajo Herman ini ketupatnya pakai rendang seperti foto di bawah ini. Menarik, bukan? Ide yang brilian juga mengkombinasikan ketupat sayur dengan rendang.
Hmmm…. mau? Dari tampilannya saja sudah menggugah selera.
Selain pakai rendang, ada juga ketupat gulai tunjang, selain tentu saja pakai telur. Harganya sepuluh ribu kalau pakai rendang, kalau pakai telur tujuh ribu, dan kalau hanya ketupat sayur saja lima ribu. Tidak terlalu mahal saya kira, pas dengan kantong mahasiswa yang menjadi pelanggan utamanya. Gulai sayurnya adalah gulai nangka dan gulai buncis tauco. Rasa gulai sayurnya pas di lidah, terutama gulai buncis tauconya, persis seperti gulai buncis tauco khas minang umumnya. Setiap hari Senin dan Jumat kadang-kadang ada gulai paku (pakis). Sayur pakisnya bukan sayur dari kebun, tetapi pakis yang didatangkan dari hutan daerah Pangandaran. Sayur pakis yang pas dibuat gulai paku memang pakis hutan.
Pelanggan kedai Ajo Herman ini banyak juga ternyata. Yang makan di sana ternyata bukan orang Minang saja, banyak juga pelangan asal daerah lain. Mungkin karena masakan minang itu cocok di lidah siapa saja. O iya, kedai ini buka dari pagi hingga pukul 12 siang. Kalau anda berada di daerah Bandung Utara, sempatkan singgah makan di warung Lima Saudara ini.

Bangsa Budak?
Membaca dan mendengar kisah-kisah TKW yang disiksa dan (maaf) diperkosa di beberapa negara tujuan TKI membuat rasa kemanusiaan kita terusik. Tujuan para wanita itu ke sana adalah untuk mencari nafkah guna membantu keluarganya yang miskin di tanah air. Tidak tahunya nasib buruk yang mereka terima di sana, mereka diperlakukan seperti budak belian yang bisa diperjualbelikan dan diperlakukan apa saja oleh majikan dan agen penyalur TKW.
Yang ironis adalah kekejaman itu berlangsung di tanah tempat turunnya para Nabi, tetapi perilaku orang-orang Arab yang sering menyiksa pembantu itu jauh dari sifat-sifat Nabi yang santun, lemah lembut, dan penyayang kepada umatnya. Sisa-sisa perilaku jahiliyah belum hapus sama sekali dari bangsa Arab.
Malaysia dan Arab Saudi adalah dua negara dengan kasus terbanyak memperlakukan para TKI wanita asal Indonesia laksana budak. Para wanita itu dipekerjakan siang malam, gaji tidak dibayar, makan dibatasi, paspor ditahan, dan kekerasan fisik serta verbal yang dilakukan majikan jika pembantu melakukan kesalahan kecil. Malang benar nasib bangsaku ini di mata orang asing.
Memang tidak semua pembantu itu bernasib buruk dan tidak semua majikan di sana itu jahat. Kita juga tidak mau menggenerilisasi bahwa semua orang Arab atau Malaysia itu buruk. Banyak juga kisah-kisah sukses dari sebagian pembantu yang mendapat majikan baik, bahkan ada yang disekolahkan sehingga menjadi sarjana seperti baru-baru ini di Malaysia. Namun apalah artinya kisah-kisah sukses itu, kisah-kisah penyiksaan pembantu adalah cerita horor tersendiri yang menghapus image bahwa masih banyak majikan yang baik. Pilu rasanya jika mendengar ada wanita kita disiksa dan diperlakukan semena-mena.
Memang tidak menutup kemungkinan sebagian dari pembantu itu ada yang bermental jelek, punya budi pekerti yang buruk, malas, nyambi menjadi pelacur, dsb, namun saya yakin sebagian besar dari mereka datang dengan niat untuk mencari nafkah, bukan untuk tujuan atau niat yang lain.
Mungkin karena Indonesia sangat banyak mengirimkan TKI sektor informal (menjadi pembantu atau buruh perkebunan) ke negara-negara itu (Malaysia dan negara-negara Arab), maka bangsa kita sangat rendah di mata orang Malaysia dan orang Arab, diperlakukan sebagai bangsa budak. Harga diri bangsa kita dilecehkan, di Malaysia para buruh perkebunan dan pembantu rumah tangga dipanggil dengan sebutan ‘indon’ yang bernada merendahkan, dan di tanah Arab dianggap sebagai orang yang tidak berharga sehingga boleh diperlakukan apa saja (karena mereka merasa sudah membeli pembantu itu dengan harga tinggi dari agensi di sana, maka majikan merasa berhak bertindak apa saja kepada para wanita TKI, persis sepeti budak zaman dahulu).
Bangsa budak? Sebuah julukan yang sangat menghina. Orang Indonesia adalah bangsa yang bermartabat, punya harga diri, tidak sudi diperlakukan serendah itu. Tidak pernah ada dalam sejarah bangsa Indonesia ini menjadi budak bangsa lain seperti bangsa Afrika yang menjadi budak orang bangsa Romawi, Yunani, Arab, hingga Amerika zaman dulu. Bahkan dulu Indonesia mengirimkan banyak guru dan dosen untuk membantu pendidikan di Malaysia, Petronas juga belajar dari Pertamina, namun sekarang kita tidak lagi mengirim guru ke Malaysia karena Malaysia sudah maju tetapi mengirim pembantu!
Kesalahan perlu ditimpakan kepada Pemerintah kita yang tidak melindungi anak bangsanya di luar negeri. Sudah banyak seruan dari para tokoh dan dari rakyat sendiri untuk menghentikan ekspor pembantu ke luar negeri. Mengekspor tenaga kerja in formal hanya akan merendahkan bangsa ini di mata orang asing. Kalau ingin mengekspor TKI, eksporlah tenaga kerja yang sudah terdidik dan bekerja di sektor formal seperti perawat, supir, dan sebagainya.
Wahai Pemerintah, stop eskpor TKI informal ke luar negeri, perbanyaklah lapangan kerja di tanah air. Uang korupsi yang jumlah triliunan itu dapat digunakan untuk membuat banyak lapangan kerja buat mereka. Biar hujan emas di negeri orang dan hujan batu di negeri sendiri, masih lebih baik hidup di negeri sendiri.

Tips mengolah kambing
Saya mendapatkannya dari link ini. Feeling dan perasaan mengatakan ini tipsnya jitu, jadi diarsip =)
Empuknya Olahan Kambing Muda ala Timteng
OLAHAN kambing yang satu ini dijamin empuk, renyah, dan tanpa aroma prengus. Daging kambingnya diolah menjadi tongseng, gulai, dan sup. Soal rasa, meminjam istilah yang sering diucapkan tokoh Bondan Winarno, benar-benar mak nyus.
RAHASIA keempukannya terletak pada pemilihan bahan yang menggunakan daging kambing muda. Ada yang menggunakan balibu (kambing di bawah lima bulan), balikan ada yang mengistilahkan batibu (bawah tiga bulan).
Jika Anda berkunjung ke Rumah Makan Madinah yang ada di Ciputat, Tangerang, akan bisa menemukan aneka masakan berbahan daging kambing muda tersebut. Untuk menjaga kualitas bahan baku dagingnya maka kambingnya harus benar-benar muda.
“Bila tidak muda, mau diproses apapun, hasilnya tetap tidak benar-benar empuk. Maka kami sangat selektif dalam memilih kambing,” kata Royani (55), pemilik Rumah Makan Madinah. Untuk urusan memilih daging kambing muda, Royani punyajurus jitu. Ia memilih yang uratnya tidak terlalu merah, karena jika uratnya merah berarti kambing tua. Bila belum berpengalaman, mungkin malah memilih yang merah karena disangka lebih segar.
Untuk pemenuhan kebutuhan di rumah makan tersebut, di samping mengambil daging kambing muda dari suplier, Royani juga memelihara kambing sendiri. Hal itu dilakukan agar swaktu-waktu butuh ekstra tambahan daging, bisa diambilkan langsung dari peliharaan sendiri.
Selain daging yang empuk, ada keunggulan lain dari aneka masakan kambing di sini, yakni dagingnya yang tidak bau prengus. Menurut Royani, cara penanganan daging itu juga mempengaruhi prengus atau tidak. Untuk daging bahan sate harus langsung digantung, jangan sampai menyentuh tanah. Harus terjaga pula kebersihannya.
Ditambahkan, daging kambing pun tidak boleh sering terpe-gang tangan, terutama oleh banyak orang, Jika daging tersebut terkena benda kotor atau pisau yang tidak bersih, maka daging akan cepat berubah menjadi hitam.
Lain halnya untuk olahan sup, justru dagingnya harus dicuci bersih. Menu sup ini menjadi favorit para pengunjung. Supnya diberi potongan kaki kambing yang telah direbus hingga empuk, sehingga saat dimakan dagingnya dengan mudah dilepas dari tulang.
Perlu diketahui, rumah makan ini tidak menggunakan jeroan dan bagian kepala untuk seluruh masakan. Hanya memakai bagian iga, tulang belakang, dan kaki.
Bagi Anda yang takut dengan kolesterol sehabis menyantap daging kambing muda, jangan khawatir. Setiap sajian diberi acar nanas yang dipercaya dapat menetralisir lemak jahat.
“Waktu itu saya diberi tahu orang Arab, mereka sangat sering makan kambing tapi tidak ada yang kena darah tinggi. Temyata rahasianya karena mereka selalu makan nanas, tutur pria yang pernah bertugas di TNI.
Harga yang ditawarkan di rumah makan Ini cukup terjangkau, seperti sate kambing muda Rp 35.000 per porsi, gulai kambing Rp 25.000, sup kambing Rp 25.000. Ada pula menu tambahan, seperti nasi goreng madinah, sate ayam, hingga gu-rami bakar dan goreng.
Saung
Suasana di Rumah Makan Madinah ini sangat sejuk. Dengan luas lahan kurang lebih 3.000 meter persegi, dibuat banyak saung. Semuanya ada 23 saung. Saya rasa orang bosan dengan suasana rumah makan yang klasik dan kaku, tetapi lebih suka pada suasana pedesaan,” tutur Royani.
Pada hari biasa, banyak tamu dari partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Sehingga rencananya rumah makan iniakan menyediakan fasilitas aula untuk ruang pertemuan dan seminar.
Bagi Anda yang membawa serta keluarga, tempat ini cocok. Ada arena bermain untuk anak. Meski cuacanya sangat panas, tidak terlalu terasa karena seluruh lahan dinaungi pohon-pohon yang rindang.
Semua aneka masakan dari kambing muda ini, sangat terasa bumbunya. Menurut Royani, untuk menghasilkan masakan berbahan dasar kambing haruslah berani bereksperimen dengan bumbu.
“Kami memakai rempah-rempah khas Timur Tengah seperti kapulaga dari India, juga cengkih. Semua diracik sendiri. Jadi bukan dari bumbu kemasan. Kuncinya harus berani bumbu,” jelasnya. Meski khas Timur Tengah, semua bumbu-bumbu bisa didapatkan secara lokal.
Kepiawaian dalam meracik bumbu tersebut didapatkan Royani ketika secara kebetulan dirinya pergi ke Tanah Suci Mekah untuk ibadah haji dan berkenalan dengan orang Arab yang bertugas menyediakan katering.
Dari situlah ia belajar berbagai macam masakan yang berkaitan dengan kambing. Kemudian Royani memberanikan diri membuka restoran. “Saya juga mendapat banyak masukan dari teman-teman. Mereka yang semula tidak doyan kambing jadi sangat suka. Ya karena tidak ada baunya,” ujarnya sambil tersenyum, dm
“Karupuak Jariang” (Emping Jengkol), Si Penambah Selera Makan
Saya bukan penggemar jengkol, sejenis sayuran yang mendatangkan bau khas di mulut dan di toilet. Namun kalau emping jengkol, waaahhh… suka banget. Emping jengkol atau bahasa Minangnya karupuak jariang adalah sejenis kerupuk emping yang terbuat dari jengkol. Rasanya sepat-sepat seperti emping melinjo. Karupuak jariang ini lebih enak jika ditambahi samba lado (cabe merah), maka selera makan dijamin bakal hemmmm….. Saya bisa batambauh (nambah) makan jika pakai karupuak jariang ini.
Karupuak jariang sudah menjadi makanan biasa di Padang, tetapi jarang ada yang menjualnya di Bandung. Eh, sebuah rumah makan kaki lima di depan Unpad sering menyediakan menu ini, sepertinya didatangkan langsung dari Padang. Langsung saya beli saja, trus di rumah dimakan dengan nasi plus samba lado kapau, lebih heboh lagi pakai lalap ketimun atau daun singkong. Waah, wah, mantaps. Makan pakai itu saja sudah enak

Tantangan pewarisan akidah ke anak di Belanda
Bagi umat Islam di Belanda, tantangan untuk mewariskan akidah ke anak cukup besar, bagaimana agar anak keturunan kita masih ber-Islam, masih mendirikan sholat, mendoakan orangtuanya, memelihara nilai ketimuran yang baik-baiknya. Tulisan berikut ini hasil pengamatan dan pendengaran saya, sedikit yang saya tahu, di Eropa yang terlihat ‘mending’ dakwahnya atau lingkungan lebih ‘kondusif’ mungkin di Belanda, UK, Jerman.
Di Belanda, jumlah populasi Indonesia (berbagai etnis dan agama) sekitar empat ratusan ribu atau 3%-an dari total populasi Belanda yang saat ini 16 juta-an, populasi orang Indonesia sebanding dengan komunitas Turki, tetapi peran orang Ina tidak semanstab orang Turki, Turkiye mempunyai bisnis ritel yg penting buka 365 hari dlm setahun =), ada pengacara, dokter, atlet, ada yg di parlemen. Orang Ina sangat disukai orang Belanda, karena ramah (ga gampang marah), sopan, terkenal mahir membaur/beradaptasi, sampai diberikan penghargaan oleh menteri Blnd sebagai komunitas terbaik paling siap/bisa berakulturasi. Kelakar seorang ustadz, lah iya memang bukan membaur lagi tapi sampai luntur =)
Salah satunya, luntur bahasa Indonesianya, generasi kedua kebanyakan sudah tidak bicara bahasa Indonesia sementara generasi pertama lahir/datang dr Ina, dengan nilai2 ketimurannya, nilai2 agamanya. Kalau orang Turki ngomong ke anak/sesama turki ya bhs Turki. Titik kritisnya di peralihan generasi 1 ke 2 ini, apakah generasi pertama dapat mewariskan nilai2nya? sebab kenyataan kita hidup di lingkungan yg berbeda secara akidah & budaya. Generasi pertama kalaupun menguasai bhs Blnd apakah sefasih anaknya? sementara jika anaknya tidak mampu berbahasa Indonesia apakah orangtua mampu menjawab argumentasi2 anaknya yg didapat dr sekolah/pergaulan? disini anak akan mendapati orangtua kalah keren/argumentatif, bahkan ortu bisa jadi tidak memahami pembicaraan anak, karena faktor bahasa. Saya juga kurang paham kenapa bisa ada gap bahasa begitu, katanya ada khawatiran kalau anaknya tidak bicara bahasa Belanda akan tertinggal pelajaran & pergaulan di sekolah.
Faktor eksternal ini sangat kuat, perbedaan akidah & budaya sesuatu yang esensiil. Orang Blnd itu ‘galak’, ‘cerewet’ relatif thdp karakter kita yg ramah, ngalahan, sehingga mereka lebih determinatif =) Saya melihat cara mba nana dididik disekolah juga demikian, disiplin. Orang Belanda itu harus necis, necisnya dalam pengertian bersih rapi kinclong contohnya rumah harus kinclong, kaca, dapur, lantai, pakaian, ga boleh bikin kerusakan/kotor, segala hal ditulis di notes, sesuai jadwal, bikin janji, barang dipake sesuai fungsinya, apa2 kudu proper, yg semacam2 itu, jadi soal kedisiplinan mah saya kalah sepertinya sama mba nana . Meski anak msh kecil itu klo marah2in di depan umum biasa (tak heran kalau sudah besar banyak anaknya yang abai thdp ortu ya… ini hanya dugaan sy).
Nah diusia-usia yang disarankan Ali bin Abi Tholib 7-14 yg hrs ‘menawan’ atau disiplin ke anak, ini yang keliatan jadi kritis di Belanda, di sekolah anak2 dididik dg disiplin, dg argumentasi2 yg kuat (meski konten akidah beda), diajari untuk kritis/beda pendapat biasa/boleh bersitegang/melawan orangtua, di rumah anak masih dielus2 ibunya, boleh ini boleh itu (bayangkan jika ditambah bhs Blnd ortunya kalah fasih), jadinya ortunya kalah keren, kalah wibawa, kalah determinasi dengan guru. Jadilah anak lebih percaya ke guru/sekolah/teman drpada orangtua. Apalagi di Belanda itu anak diajari sejak dini untuk mengadukan perilaku orangtua jika merasa dikerasi/dipaksa, padahal kan kadar kekerasan & alasannya bisa macem2. Ini juga (saya duga) upaya sistematis pemerintah Belanda untuk men-discourage umat Islam & mengambil anak2 muslim dr pengasuhan orangtuanya, karena orang Belanda juga tau ada konflik akidah/budaya yang biasanya membuat ortu-anak bersitegang, ketegangan ini mereka manfaatkan. Memang ada muslim dr komunitas tertentu yg ‘keras’ spt anak tidak sholat kan dipukul, kalau komunitas tersebut mukulnya beneran dengan rotan smp luka, akhirnya anak kabur, ditampung orang Belanda, dijauhkan dr ortunya, padahal bs jadi ini kesalahpahaman ortu-anak yg bagi kita konflik biasa/wajar.
Kalau untuk pemeliharaan anak, dari ibu hamil smp mngkn usia SD sy akui di Blnd ini memang terjamin, dr hsil survey (berarti kuantitatif) indeks ‘kebahagiaan’ anak2 Blnd tertinggi di dunia, kesehatan, fasilitas umum yg ramah anak, permainan, gizi, sistem pendidikan yg tdk menekan tp sebaliknya menumbuhkan minat belajar, belajar bahasa, seni,sosial, science dg leluasa & terfasilitasi, hal2 tsb memang terjamin. Tapi begitu lulus SD, bayangkan kepala sekolah membagikan kondom, aktifitas seksual sdh diterima, tp jgn smp hamil/menikah. Anak di usia ini penuh pertanyaan, kritis, labil, mencari patron yg menurutnya keren, sanggupkah orangtua menjadi patron, bisakah keluarga menjadi tempat kembali? tempat pembanding nilai2 yg benar & baik? atau adakah komunitas yg bs menjadi tempt kembali anak2 kita?
Khawatir
Paling khawatir kembali ke tempat dimana uanglah yang menjadi tema pembicaraan sehari-hari =(
insyaAllah, Allah akan memberikan petunjuk terbaik…
Sekelumit Cerita Kehidupan di dalam Ikan Nila Bakar “Bang Themy “
Sekali seminggu dalam perjalanan pulang dari kantor, saya sering menyinggahi kedai ikan bakar Bang Themy untuk membeli ikan nila bakar sebagai lauk makan malam di rumah. Kedai ikan nila bakar Bang Themy terletak di Jalan Terusan Jakarta, Bandung, dekat perbatasan daerah Arcamanik (setelah terminal Antapani).
Rasa ikan bakar di kedai ini berbeda dengan ikan bakar yang lain, perbedaannya terletak pada bumbu yang digunakan. Ikan nila dibakar di kedai Bang Themy memakai bumbu khas Minang (orang sering menyebutnya sebagai bumbu Padang). Kalau saya amati, bumbunya adalah paduan santan kental dan aneka bumbu dapur seperti bawang, jahe, kunyit, laos, dan lain-lain. Bumbu-bumbu inilah membuat rasa ikan bakarnya enak dan gurih.
Untuk mendapatkan rasa ikan bakar yang mantap dan enak, maka ikan nila di kedai ini dibakar tiga kali. Pada pembakaran pertama, ikan nila yang sudah dibelah hanya diolesi (menggunakan kuas) dengan minyak goreng yang sudah diberi bumbu khusus, kemudian dibakar di atas bara api sampai dagingnya setengah matang dan air di dalam tubuh ikan menguap. Pada pembakaran kedua, ikan diolesi bumbu santan tadi tetapi agak tipis, lalu dibakar lagi sampai matang. Setelah pembakaran kedua, ikan-ikan tadi beserta alat pemanggangnya dipajang dengan cara menggantung seperti pada foto di atas sambil menununggu pembeli yang datang. Siapapun yang lewat di depan kedai dan melihat ikan bakar yang tergantung tadi pasti terbit air liurnya karena bentuk ikan bakar hasil pembakaran kedua ini sangat menggoda selera.
Pembeli memilih ikan nila bakar yang disukainya, selanjutnya ikan nila hasil pembakaran yang kedua tadi dibakar untuk ketiga kalinya. Sebelum dibakar, ikan dioles lagi dengan bumbu yang lebih tebal. Pembakaran yang ketiga bertujuan untuk menambah sensasi aroma bakar dan menciptakan rasa ikan bakar dengan bumbu gurih yang lezat.
Satu ekor ikan nila bakar harganya bervariasi dari Rp14.000 hingga Rp22.000, bergantung besar kecilnya ikan. Selain ikan nila di kedai itu juga ada ayam bakar dan ikan gurami bakar, tetapi yang khas ya ikan nila itu. Ikan nila bakar bisa dimakan di sana dengan nasi hangat atau dibawa pulang. Sebagai pelengkap makan, ikan dimakan dengan sambal cabe hijau dan lalap sayur waluh, kacang panjang, irisan tomat, dan ketimun. Yuk, kita makan ikan bakarnya.
Bang Themy, lelaki Minang pemilik kedai ikan bakar itu, beristrikan wanita asal Sumedang. Sehari-hari istrinya yang membantu di kedai. Kebetulan anak Bang Themy ini satu sekolah dengan anak saya di SD Muhamadiyah. Saya menilai Bang Themy sebagai seorang lelaki yang gigih. Dia mencari sendiri ikan nila itu ke sentra budidayanya di daerah Subang. Subang terletak di balik gunung Tangkubanperahu dan dikenal sebagai penghasil ikan nila terbaik di Jawa Barat. Setiap minggu dengan sepeda motornya Bang Themy pergi ke daerah Subang yang berjarak satu jam lebih perjalanan. Ikan-ikan nila yang ada di tambak dipilihnya sendiri dan ditangkap sendiri. Jadi, bukan petani tambak yang mengambilkan ikan, tetapi dia sendiri yang terjun ke dalam tambak untuk memilih ikan nila yang gemuk-gemuk, menangkapnya, lalu membayar ke pemilik tambak seharga ikan nila yang dia ambil.
Ketika saya tanya, kenapa tidak menunggu ikan nila diantarkan saja ke Bandung oleh pemasok, daripada capek datang jauh-jauh ke Subang? Bang Themy tidak mau, sebab belum tentu ikan nila yang diantarkan itu berkualitas bagus atau kecil-kecil, harus dia sendiri yang memilihnya. Saya pikir itu prinsip pemasaran yang bagus, kalau ingin pelanggan puas ya harus memberikan produk terbaik, bukan ecek-ecek atau asal-asalan. Kan banyak orang yang berdagang makanan hanya untuk mencari untung semata tetapi tidak memikirkan kualitas masakan atau makanannya. Jangan harap pelanggan akan setia atau datang lagi-datang lagi.
Kalau ikan nila lagi kosong di sentra produksi di Subang, Bang Themy memilih tidak berjualan. Dia tidak mau membeli ikan nila di pasar. Begitu juga kalau dia lagi sakit berarti tidak ada ikan, sebab tidak ada yang menjemput ikan ke Subang, otomatis kedainya juga tutup sementara. Makanya saya nilai dia seorang penjual makanan yang konsisten menjaga kualitas dagangannya. Garis-garis tua di wajahnya menandakan kerasnya kehidupan yang telah dijalaninya. Semoga ikan bakarnya tetap laris karena nafkah keluarganya berasal dari situ, dan saya masih dapat terus menikmati ikan nila bakarnya yang enak itu.

Menikmati Teh Srilanka
Teman saya yang menjadi diplomat di Kedubes RI di Colombo, Srilanka, beberapa waktu yang lalu pulang ke tanah air. Dia membawakan saya oleh-oleh berupa teh. Wah, tahu sendiri kan, Srilanka adalah penghasil teh terbaik di dunia. Teh di Srilanka ditanam pada daerah ketinggian yang berbeda-beda, untuk setiap elevasi ketinggian rasa tehnya juga tidak sama.
Nah, teh yang dibawakannya ada bermacam-macam, salah satunya teh seduh bermerek Dilmah. Saya seduh teh ini untuk minuman satu gelas.
Rasanya, wah…. agak beda dengan teh kita. Rasa teh Srilanka sangat kuat, agak sedikit pahit sepat gitu, tapi enak lho. Saya bagi-bagi teh ini kepada teman-teman di kantor, komentar mereka juga sama, enak.
Saya suka minum teh tawar (tanpa gula). Biasanya saya minum teh sambil makan nasi. Nasi panas-panas, dimakan dengan lauk dan sambal, temannya adalah segelas teh panas, mantaap! Saya ingin membiasakan lagi tradisi minum teh ini, karena minum teh itu menyehatkan. Teh mengandung antioksidan yang bermanfaat untuk membuang racun dalam tubuh kita dan membuat stamina tubuh tetap sehat.
