Archive for May, 2014
Melihat Pramugari Garuda Indonesia Sholat di Atas Pesawat
Beberapa hari ini di jejaring sosial Facebook beredar foto pramugari Garuda Indonesia sedang menunaikan sholat di kursi belakang pesawat. Sang juru foto adalah Eddie Putera, seorang fotografer warganegara Malaysia yang sedang berada di atas pesawat tersebut. Dia secara kebetulan memotret pramugari yang sedang sholat itu karena dia duduk di bangku paling belakang yang biasanya kosong. Eddie mengunggah ketiga foto jepretannya di akun Facebook-nya. Seperti diberitakan di dalam situs Berita Power, ketika 10 menit setelah take-off, Eddie merasa terkantuk-kantuk. Tiba-tiba ada seorang pramugari yang membuka kompartemen (kabin) di atas, sepertinya hendak mengambil sesuatu dari tasnya. Dikiranya pramugari itu akan bersalin baju, tidak tahunya dia mengambil mukena (telekung) dan menunaikan sholat sambil duduk. Eddie mengambil 3 gambar, dan ini dua diantaranya yang memperlihatkan pramugari tersebut sedang sholat (sumber foto dari situs Berita Power).
Menurut saya ini foto yang langka – meskipun sholat di atas pesawat adalah hal yang biasa saja-, karena sangat jarang kita melihat pramugari menunaikan sholat di atas pesawat. Kalau penumpang pesawat sholat sambil duduk di atas kursinya itu adalah hal yang lumrah. Agama mengajarkan kita untuk sholat dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sakit sekalipun, baik sedang berdiam atau sedang dalam perjalanan. Jika tidak bisa berdiri, ya duduk, kalau tidak bisa duduk, ya berbaring. Apalagi dalam perjalanan jauh sebagai musafir, seorang muslim mendapat keringanan melakukan sholat dengan jamak (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) dan qashar (meringkas sholat yang empat rakaat menjadi dua rakaat).
Tentu saja saya yakin pramugari ini menunaikan sholat ketika sedang tidak sibuk melayani penumpang. Pramugari kan tidak selalu mondar mandir setiap saat dari depan ke belakang. Adakalanya mereka duduk-duduk di bagian depan atau di bagian belakang setelah tugas mengantarkan hidangan dan lain-lainnya selesai. Nah, mungkin di sela-sela kesibukan itu pramugari yang taat ini mengambil sedikit waktu untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah, yaitu sholat wajib.
Subhanallah, saya berempati melihat foto ini. Di tengah kesibukannya, dia masih meluangkan waktu sejenak “menghadap” Tuhannya. Orang-orang di Garuda Indonesia seharusnya bangga dengan foto ini, karena perusahaan mereka memberi kebebasan kepada pegawainya untuk menunaikan kewajiban agama.
Catatan: Jika anda tidak bisa mengakses situs Berita Power di atas, anda dapat membaca beritanya di situs Fimadani ini.

Melihat Pramugari Garuda Indonesia Sholat di Atas Pesawat
Beberapa hari ini di jejaring sosial Facebook beredar foto pramugari Garuda Indonesia sedang menunaikan sholat di kursi belakang pesawat. Sang juru foto adalah Eddie Putera, seorang fotografer warganegara Malaysia yang sedang berada di atas pesawat tersebut. Dia secara kebetulan memotret pramugari yang sedang sholat itu karena dia duduk di bangku paling belakang yang biasanya kosong. Eddie mengunggah ketiga foto jepretannya di akun Facebook-nya. Seperti diberitakan di dalam situs Berita Power, ketika 10 menit setelah take-off, Eddie merasa terkantuk-kantuk. Tiba-tiba ada seorang pramugari yang membuka kompartemen (kabin) di atas, sepertinya hendak mengambil sesuatu dari tasnya. Dikiranya pramugari itu akan bersalin baju, tidak tahunya dia mengambil mukena (telekung) dan menunaikan sholat sambil duduk. Eddie mengambil 3 gambar, dan ini dua diantaranya yang memperlihatkan pramugari tersebut sedang sholat (sumber foto dari situs Berita Power).
Menurut saya ini foto yang langka – meskipun sholat di atas pesawat adalah hal yang biasa saja-, karena sangat jarang kita melihat pramugari menunaikan sholat di atas pesawat. Kalau penumpang pesawat sholat sambil duduk di atas kursinya itu adalah hal yang lumrah. Agama mengajarkan kita untuk sholat dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan sehat atau dalam keadaan sakit sekalipun, baik sedang berdiam atau sedang dalam perjalanan. Jika tidak bisa berdiri, ya duduk, kalau tidak bisa duduk, ya berbaring. Apalagi dalam perjalanan jauh sebagai musafir, seorang muslim mendapat keringanan melakukan sholat dengan jamak (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) dan qashar (meringkas sholat yang empat rakaat menjadi dua rakaat).
Tentu saja saya yakin pramugari ini menunaikan sholat ketika sedang tidak sibuk melayani penumpang. Pramugari kan tidak selalu mondar mandir setiap saat dari depan ke belakang. Adakalanya mereka duduk-duduk di bagian depan atau di bagian belakang setelah tugas mengantarkan hidangan dan lain-lainnya selesai. Nah, mungkin di sela-sela kesibukan itu pramugari yang taat ini mengambil sedikit waktu untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah, yaitu sholat wajib.
Subhanallah, saya berempati melihat foto ini. Di tengah kesibukannya, dia masih meluangkan waktu sejenak “menghadap” Tuhannya. Orang-orang di Garuda Indonesia seharusnya bangga dengan foto ini, karena perusahaan mereka memberi kebebasan kepada pegawainya untuk menunaikan kewajiban agama.
Catatan: Jika anda tidak bisa mengakses situs Berita Power di atas, anda dapat membaca beritanya di situs Fimadani ini.

Tiga Stereotip Mahasiswa dalam Tugas Kelompok
Tugas-tugas kuliah di ITB ada yang merupakan tugas perorangan dan ada pula tugas kelompok. Tugas kelompok dikerjakan oleh satu tim yang terdiri dari beberapa orang mahasiswa. Di Informatika ITB tempat saya mengajar, tugas kelompok itu disebut tugas besar (tubes) yang umumnya adalah membuat sebuah program aplikasi yang kompleks.
Hasil pengamatan saya selama ini, dalam tugas kelompok itu biasanya terdapat tiga stereotip mahasiswa, yaitu mahasiswa tipe merah, tipe biru, dan tipe kuning.
Tipe merah: ini tipe mahasiswa yang mengerjakan sebagian besar tugas inti. Kalau di Informatika ini tipikal mahasiswa yang kerjaannya sebagai coder.
Tipe biru: ini seksi laporan atau spesialis dokumentasi, yaitu mahasiswa yang kebagian tugas pada saat akhir, yaitu menulis laporan untuk diserahkan ke pemberi tugas (dosen atau asisten).
Tipe kuning: ini seksi “gorengan”, yaitu mahasiswa yang tidak ikut berkeringat, perannya mungkin sebagai penghibur dengan menyediakan makanan (goreng pisang atau sebangsa itu) kepada angota kelompok, atau membanyol (melawak) dengan cerita-cerita heboh sehingga teman-temannya ketawa-ketawa, atau malah tidak berkontribusi apa-apa. Numpang nama saja di laporan tetapi tetap mendapat nilai alias gabut (makan gaji buta).

Stereotip mahasiswa (Sumber: http://www.Facebook/KartunNgampus
Ternyata tipe merah, biru, dan kuning itu sudah ada sejak zaman saya kuliah dulu, atau mungkin jauh sebelum saya kuliah. Selalu saja ada mahasiswa di dalam kelompok yang “malas” dalam mengerjakan tugas dan selalu saja ada mahasiswa yang ketempuhan dengan mengerjakan sebagian besar tugas.
Saya kira stereotip ini hanya di Indonesia saja, ternyata juga terdapat di universitas di Eropa. Seorang mahasiswa saya yang kuliah di Inggris menceritakan pengalamannya tentang mahasiswa di sana yang juga gabut dalam tugas kelompok. Nggak di Indonesia, nggak di luar negeri sama saja. Ini masalah mental, menurut saya.
Terus terang tiga stereotip tadi bukan klasifikasi yang baik. Setiap anggota kelompok seharusnya mempunyai peran yang sama dalam mengerjakan tugas. Kalau dihubungkan dengan tugas di Informatika misalnya, maka semua orang di dalam kelompok harus mempunyai pembagian tugas yang merata dalam coding dan pembagian tugas yang merata dalam membuat laporan. Tidak boleh ada orang yang dominan dalam satu peran, begitu pula tidak boleh ada yang mengerjakan yang ringan-ringan saja.
Misalnya untuk membuat program aplikasi yang besar, mahasiswa pertama membuat bagian interface, mahasiswa kedua membuat bagian engine aplikasi, dan mahasiswa ketiga mengintegrasikannya. Jika ada empat orang atau lebih maka tinggal dibagi saja untuk komponen yang lain. Hal yang sama untuk laporan, harus jelas siapa yang menulis apa. Dengan begitu semua mahasiswa memiliki kontribusi yang signifikan dan tidak ada yang gabut. Mendapat ilmu sama-sama dan mendapat nilai sama-sama. Adil dan sama-sama puas. Susah-susah gampang untuk diterapkan, tetapi harus dicoba.

Tiga Stereotip Mahasiswa dalam Tugas Kelompok
Tugas-tugas kuliah di ITB ada yang merupakan tugas perorangan dan ada pula tugas kelompok. Tugas kelompok dikerjakan oleh satu tim yang terdiri dari beberapa orang mahasiswa. Di Informatika ITB tempat saya mengajar, tugas kelompok itu disebut tugas besar (tubes) yang umumnya adalah membuat sebuah program aplikasi yang kompleks.
Hasil pengamatan saya selama ini, dalam tugas kelompok itu biasanya terdapat tiga stereotip mahasiswa, yaitu mahasiswa tipe merah, tipe biru, dan tipe kuning.
Tipe merah: ini tipe mahasiswa yang mengerjakan sebagian besar tugas inti. Kalau di Informatika ini tipikal mahasiswa yang kerjaannya sebagai coder.
Tipe biru: ini seksi laporan atau spesialis dokumentasi, yaitu mahasiswa yang kebagian tugas pada saat akhir, yaitu menulis laporan untuk diserahkan ke pemberi tugas (dosen atau asisten).
Tipe kuning: ini seksi “gorengan”, yaitu mahasiswa yang tidak ikut berkeringat, perannya mungkin sebagai penghibur dengan menyediakan makanan (goreng pisang atau sebangsa itu) kepada angota kelompok, atau membanyol (melawak) dengan cerita-cerita heboh sehingga teman-temannya ketawa-ketawa, atau malah tidak berkontribusi apa-apa. Numpang nama saja di laporan tetapi tetap mendapat nilai alias gabut (makan gaji buta).

Stereotip mahasiswa (Sumber: http://www.Facebook/KartunNgampus
Ternyata tipe merah, biru, dan kuning itu sudah ada sejak zaman saya kuliah dulu, atau mungkin jauh sebelum saya kuliah. Selalu saja ada mahasiswa di dalam kelompok yang “malas” dalam mengerjakan tugas dan selalu saja ada mahasiswa yang ketempuhan dengan mengerjakan sebagian besar tugas.
Saya kira stereotip ini hanya di Indonesia saja, ternyata juga terdapat di universitas di Eropa. Seorang mahasiswa saya yang kuliah di Inggris menceritakan pengalamannya tentang mahasiswa di sana yang juga gabut dalam tugas kelompok. Nggak di Indonesia, nggak di luar negeri sama saja. Ini masalah mental, menurut saya.
Terus terang tiga stereotip tadi bukan klasifikasi yang baik. Setiap anggota kelompok seharusnya mempunyai peran yang sama dalam mengerjakan tugas. Kalau dihubungkan dengan tugas di Informatika misalnya, maka semua orang di dalam kelompok harus mempunyai pembagian tugas yang merata dalam coding dan pembagian tugas yang merata dalam membuat laporan. Tidak boleh ada orang yang dominan dalam satu peran, begitu pula tidak boleh ada yang mengerjakan yang ringan-ringan saja.
Misalnya untuk membuat program aplikasi yang besar, mahasiswa pertama membuat bagian interface, mahasiswa kedua membuat bagian engine aplikasi, dan mahasiswa ketiga mengintegrasikannya. Jika ada empat orang atau lebih maka tinggal dibagi saja untuk komponen yang lain. Hal yang sama untuk laporan, harus jelas siapa yang menulis apa. Dengan begitu semua mahasiswa memiliki kontribusi yang signifikan dan tidak ada yang gabut. Mendapat ilmu sama-sama dan mendapat nilai sama-sama. Adil dan sama-sama puas. Susah-susah gampang untuk diterapkan, tetapi harus dicoba.

Ketika Anak Melihat Situs Po**o
Mendidik anak zaman sekarang sangat berat. Setiap hari di sekelilingnya bertebaran perangkap yang dapat menghancurkan masa depannya. Anak kita kan tidak 24 jam bersama kita, ada masa dia bersama teman-temannya. Nah, pergaulan dari teman itulah yang dapat menimbulkan salah satu dari dua kemungkinan: pengaruh baik dan pengaruh buruk.
Suatu kali anak saya yang memakai gadget ibunya dikirimi pranala (link ) di Internet dari temannya yang sedang chatting melalui WhatsApp. Temannya menyuruh buka, dan dibukalah. Ternyata isinya gambar anime Jepang yang sangat menjijikkan. Meskipun cuma gambar kartun, tetapi gambar-gambarnya memperlihatkan (maaf) hubungan suami-istri yang tidak pantas dilihat. Kami mengetahui pranala tersebut karena browser Internet menyimpan pranala yang pernah kita buka (cookies). Dari pengakuannya, dia hanya melihat sekilas saja, setelah itu langsung menutupnya. Saya percaya pengakuannya karena sejak awal kami selalu mengajarkan apa yang pantas dan tidak pantas dilihat. Ada perasaan bersalah pada dirinya setelah melihat gambar-gambar tersebut.
Saya termasuk orang tua yang sangat ketat menjaga anak-anak dari pengaruh buruk teknologi informasi. Terserah saya dianggap orang tua yang konservatif dalam mendidik anak. Ini nggak boleh, itu nggak boleh, serba banyak larangan. Menonton TV saja dibatasi, apalagi menggunakan gadget. Sampai sekarang saya masih belum membelikan ponsel kepada anak kami, karena saya sadar sesadarnya bahwa penyebaran pornografi melalui gadget sudah luar biasa kalau tidak bisa disebut mencemaskan. Gadget yang multimedia (punya kamera dan aplikasi video), punya bluetooth, dan bisa internetan adalah sarana efektif penyebaran konten pornografi (melalui gambar, video, dan game). Sekarang anak-anak sudah punya gadget sendiri, punya ponsel sendiri, sangat terampil menggunakan komputer tablet, termasuk berselancar di dunia maya. Hampir semua gadget sekarang bisa mengakses internet, dan internet adalah media yang efektif untuk mengakses situs porno.
Boleh jadi anak-anak sekarang sudah biasa melihat konten pornografi. Penelitian Bu Elly Risman membuat kita terperanjat bahwa 98 persen anak-anak Indonesia pernah mengakses media-media berbau pornografi. Bahaya pornografi sudah banyak dibahas, salah satunya pada tulisan ini: Kerusakan Otak Akibat Pornografi Mirip Mobil Ringsek Akibat Benturan Keras. Otak orang dewasa saja bisa rusak akibat kecanduan pornografi, apalagi otak anak-anak yang masih labil dan dalam fase perkembangan.
Parahnya lingkungan pergaulan anak-anak zaman sekarang membuat kita harus sadar, bahwa pendidikan yang sebenarnya adalah di rumah. Orangtua harus lebih banyak memberikan perhatian pada pergaulan anak-anaknya. Meskipun sudah diberi tameng ilmu agama yang kuat sekalipun, namun tidak ada jaminan anak kita bisa kuat. Pengaruh dari lingkungannya sangat kuat untuk menggoda. Kita perlu lebih tegas lagi menjaga anak-anak kita dari pengaruh pornografi. Kalau perlu selalu rutin memeriksa isi ponselnya, selalu rutin memeriksa isi tas dan lemarinya, bertanya mau kemana, perlu tahu siapa saja teman-temannya, dan selalu memeriksa cookies di browser internet. Terserah dibilang orang sebagai orangtua kolot dan ketinggalan zaman, ini semua demi kebaikan masa depan anak-anak kita juga.

Ketika Anak Melihat Situs Po**o
Mendidik anak zaman sekarang sangat berat. Setiap hari di sekelilingnya bertebaran perangkap yang dapat menghancurkan masa depannya. Anak kita kan tidak 24 jam bersama kita, ada masa dia bersama teman-temannya. Nah, pergaulan dari teman itulah yang dapat menimbulkan salah satu dari dua kemungkinan: pengaruh baik dan pengaruh buruk.
Suatu kali anak saya yang memakai gadget ibunya dikirimi pranala (link ) di Internet dari temannya yang sedang chatting melalui WhatsApp. Temannya menyuruh buka, dan dibukalah. Ternyata isinya gambar anime Jepang yang sangat menjijikkan. Meskipun cuma gambar kartun, tetapi gambar-gambarnya memperlihatkan (maaf) hubungan suami-istri yang tidak pantas dilihat. Kami mengetahui pranala tersebut karena browser Internet menyimpan pranala yang pernah kita buka (cookies). Dari pengakuannya, dia hanya melihat sekilas saja, setelah itu langsung menutupnya. Saya percaya pengakuannya karena sejak awal kami selalu mengajarkan apa yang pantas dan tidak pantas dilihat. Ada perasaan bersalah pada dirinya setelah melihat gambar-gambar tersebut.
Saya termasuk orang tua yang sangat ketat menjaga anak-anak dari pengaruh buruk teknologi informasi. Terserah saya dianggap orang tua yang konservatif dalam mendidik anak. Ini nggak boleh, itu nggak boleh, serba banyak larangan. Menonton TV saja dibatasi, apalagi menggunakan gadget. Sampai sekarang saya masih belum membelikan ponsel kepada anak kami, karena saya sadar sesadarnya bahwa penyebaran pornografi melalui gadget sudah luar biasa kalau tidak bisa disebut mencemaskan. Gadget yang multimedia (punya kamera dan aplikasi video), punya bluetooth, dan bisa internetan adalah sarana efektif penyebaran konten pornografi (melalui gambar, video, dan game). Sekarang anak-anak sudah punya gadget sendiri, punya ponsel sendiri, sangat terampil menggunakan komputer tablet, termasuk berselancar di dunia maya. Hampir semua gadget sekarang bisa mengakses internet, dan internet adalah media yang efektif untuk mengakses situs porno.
Boleh jadi anak-anak sekarang sudah biasa melihat konten pornografi. Penelitian Bu Elly Risman membuat kita terperanjat bahwa 98 persen anak-anak Indonesia pernah mengakses media-media berbau pornografi. Bahaya pornografi sudah banyak dibahas, salah satunya pada tulisan ini: Kerusakan Otak Akibat Pornografi Mirip Mobil Ringsek Akibat Benturan Keras. Otak orang dewasa saja bisa rusak akibat kecanduan pornografi, apalagi otak anak-anak yang masih labil dan dalam fase perkembangan.
Parahnya lingkungan pergaulan anak-anak zaman sekarang membuat kita harus sadar, bahwa pendidikan yang sebenarnya adalah di rumah. Orangtua harus lebih banyak memberikan perhatian pada pergaulan anak-anaknya. Meskipun sudah diberi tameng ilmu agama yang kuat sekalipun, namun tidak ada jaminan anak kita bisa kuat. Pengaruh dari lingkungannya sangat kuat untuk menggoda. Kita perlu lebih tegas lagi menjaga anak-anak kita dari pengaruh pornografi. Kalau perlu selalu rutin memeriksa isi ponselnya, selalu rutin memeriksa isi tas dan lemarinya, bertanya mau kemana, perlu tahu siapa saja teman-temannya, dan selalu memeriksa cookies di browser internet. Terserah dibilang orang sebagai orangtua kolot dan ketinggalan zaman, ini semua demi kebaikan masa depan anak-anak kita juga.
